• Login
Tuturma.ma
  • Kilas Perempuan
  • Mamapedia
  • Mamapapa
  • Ngasuh
  • Coretan
  • Curhatan
  • More
    • Lifestyle
    • Kesehatan
    • Reportase
    • Register
    • Login
No Result
View All Result
  • Kilas Perempuan
  • Mamapedia
  • Mamapapa
  • Ngasuh
  • Coretan
  • Curhatan
  • More
    • Lifestyle
    • Kesehatan
    • Reportase
    • Register
    • Login
No Result
View All Result
Tuturma.ma
No Result
View All Result
Home Coretan

Aku Hanya Wanita Biasa

Ita Lestari by Ita Lestari
06/08/2022
in Coretan
0
wanita biasa

Tuturmama – AKU HANYA WANITA BIASA

Pagi-pagi sekali tetangga sudah ribut. Aku heran mengapa mereka punya banyak waktu untuk berkumpul tak jelas begitu. Padahal masih jam 6 pagi. Namun, saat tak sengaja mendengar salah satu pembicaraan mereka, aku mendesah kesal.

“Siapa, Mbak? Owalah, Dek Sisi yang suaminya manajer itu, ya?” dari suaranya aku tahu itu Mbak Fatimah.

Padahal aku sama sekali gak punya salah padanya, tapi dia selalu saja membuatku kesal bukan main karena kelakuannya. Masa iya apa-apa tentangku ia dijadikan bahan gosip? Siapa yang tidak kesal ada di posisiku ini coba?

“Kayaknya itu suaminya cuman pengangguran aja, Mbak. Coba tuh lihat, baju yang dipakai itu-itu aja. Terus mana pernah Dek Sisi ke pasar? Diem di rumah aja, kan, orangnya? Lah, itu tandanya dia bohong masalah pekerjaan suaminya!”

Ingin hati melempar sandal, tetapi aku lebih memilih balik badan. Sebelumnya perkenalkan, namaku Sisi. Pengantin baru yang menikah dua tahun lalu, tahun ini aku berusia 23 tahun sedangkan suamiku beranjak 27 tahun. Perbedaan kami tak cukup jauh.

Aku hanya lulusan SMP, sedangkan Mas Rasyid, suamiku, seorang sarjana. Perihal dia bekerja sebagai manajer umum itu benar. Hanya saja tak selamanya uang gajinya kugunakan untuk beli baju. Berdandan pun ala kadarnya, karena aku sadar tidak bisa banyak membantunya.

Baca Juga: Prasangka Seorang Istri

Mendengar ocehan tetangga aku hanya bisa tersenyum pahit, karena merasa menjadi beban hidup suamiku. Meski segala urusan rumah aku yang melakukannya, tapi mungkin saja di mata suami aku hanya istri yang tak berguna.

Brugh!

Aku duduk dengan cepat tak peduli kalau harus menendang kursi lainnya. Napasku kembang-kempis seperti biasanya.

“Ya, Tuhan.” kataku dengan mata terpejam sambil mencoba mengatur napas.

“Mereka gak ada kerjaan, ya?” Aku bertanya pada diri sendiri.

Sebenarnya, daripada masalah mereka yang membicarakan diriku diam-diam di belakang, aku lebih merasa lelah pada keadaan saat ini.

“Dek … Dek! Goblok banget, sih, kamu ini. Atur uang itu yang benar, dong! Masa dua juta sebulan gak cukup!”

Kalimat itu Mas Rasyid ucapkan semalam. Bukan aku tidak bisa, tapi dua juta yang dia berikan setengahnya untuk bayar air, kontrakan, dan listrik yang sekarang makin mahal. Meskipun kami hanya hidup berdua, memangnya uang segitu bisa cukup untuk apa saja dalam sebulan?

Masalah itu masih bisa aku terima, tapi sikap suamiku akhir-akhir ini aneh. Dia kerap menyembunyikan sesuatu dan menyimpannya sendiri. Mendadak dia juga lebih sering tersenyum saat menatap ponselnya. Ketika aku mencoba meminjam ponselnya, Mas Rasyid malah marah-marah.

“Aku kan cuman mau pinjam ponselmu saja karena aku gak punya, Mas!” bentakku waktu itu yang tak terima dengan sikap serta perilaku buruknya padaku beberapa bulan belakangan.

“Halah! Untuk apa sih pinjam segala, makanya nabung beli sendiri!” Parahnya dia malah balas membentak.

 Baca Juga: Liliku Sayang

Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu setelahnya. Aku hanya wanita biasa yang jika dibentak akan sedih dan sakit hati. Dulu saat kami baru menikah Mas Rasyid tak begini, saat dia masih menjadi karyawan biasa segala tingkah lakunya baik padaku.

“Ya, Tuhan … mengapa keadaan kami kian memburuk begini?”

Sebutir cairan bening meleleh melewati pipi namun aku abaikan. Lantas berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Niat hati ingin membeli detergen aku malah menangis meratapi nasib.

Alhasil, kupakai dulu detergen yang tersisa. Namun, ketika mengangkat baju Mas Rasyid hendak merendamnya, ada sesuatu yang terjatuh. Benda mungil berbentuk tabung itu menggelinding di lantai lantas tiba di ujung jari kakiku.

Sebuah lipstik. Aku mengambil lipstik itu dengan tangan gemetar lantas bergumam pelan, “Ini bukan milikku.”

Niatnya begitu Mas Rasyid pulang sore nanti aku hendak bertanya milik siapa pewarna bibir ini. Namun, senyuman suamiku mengalihkan segala pikiran buruk yang ada.

“Mas pulang!” ucapnya ceria.

Suara Mas Rasyid membuatku bergegas menuju pintu depan. Syukurlah, kekhawatiran tadi mungkin terlalu berlebihan. Mungkin saja itu lipstik milik temannya. Sembari tersenyum aku menyalimi tangan suamiku.

“Salamnya ….” ucapanku terputus ketika mencium aroma asing dari badan Mas Rasyid.

Setelah tadi aku menemukan benda milik perempuan di saku kemejanya, mengapa kini bau badan suamiku tercium seperti parfum wanita? Seperti aroma vanila. Mas Rasyid tak suka dan tak punya parfum dengan aroma ini.

Lalu, dari mana bau parfum ini? Aku masih mencoba berpikir positif dengan tersenyum tipis meski hati seperti teriris. Pikiran berkecamuk memikirkan segala hal buruk. Semoga pikiran buruk tersebut tak menjadi kenyataan.

Mas Rasyid masih menampilkan wajah riang. Wajahnya masih dihiasi senyuman. Tak mau naif, aku cinta Mas Rasyid. Maka dari itu, segala tindak-tanduknya yang mencurigakan selalu kutepis.

Setelah mengambil tas kerjanya, aku menggandeng tangan suami masuk ke dalam kamar.

Baca Juga: Kenyataan Itu Bernama Naraya Indigara

“Mas capek banget, Dek,” keluhnya manja.

Dag-dig-dug hatiku. Hampir tiga bulan kami tak berhubungan badan. Dia bilang malas dan bosan begini-begini saja dan belum juga dikaruniai seorang anak. Aku hanya wanita biasa yang pasti sakit hati mendengar keluhannya.

Akhirnya aku mengalah dan tak pernah meminta. Dulu, saat kami hendak melakukannya Mas Rasyid akan bersikap manja begini. Tak seperti biasanya, dia akan mengutarakan segala kata-kata manja layaknya anak SMA yang sedang kasmaran, seperti sekarang.

Dengan pipi yang memerah aku tertawa canggung. “Ya sudah sana, Mas mandi kalau lelah, biar aku siapkan makan nanti selesai mandi mas bisa langsung makan saja,” ujarku gugup karena masih mendapat tatapan intens dari Mas Rasyid.

Hati memang tak bisa dibohongi. Tiga bulan tak melakukannya dengan suami sendiri aku menginginkan hal itu. Aku juga wanita biasa yang kerap terbawa hasrat.

“Aku mau makan kamu saja ya, Dek.” Mas Rasyid mengedipkan sebelah matanya. Dia bahkan masih sempat-sempatnya tertawa kecil dengan nada menggoda.

Mengangguk malu-malu, aku mendekat lantas melingkarkan tangan di lehernya. Astaga! Padahal ini bukan pertama kalinya, tapi kenapa rasanya jantungku mau meledak.

“Dek?”

Mas Rasyid malah mengajakku mengobrol lebih dulu, padahal aku ingin segera menciumnya.

“Kenapa, Mas?” sahutku sambil mencoba melonggarkan dasinya.

Kebiasaan rutin, dia tak akan memakai dan melepaskan dasinya sendiri. Selama kami menikah aku lah yang melakukan hal itu untuknya. Rasanya menyenangkan karena aku jadi merasa sedikit dibutuhkan olehnya.

Baca Juga: Perempuan yang Hampir Mati Dibunuh Rumor

“Mas mau minta izin,” ujarnya dengan suara yang begitu lirih.

Aku tertawa, jarang-jarang dia meminta izin padaku. Bukankah akhir-akhir ini saat ada masalah Mas Rasyid selalu berusaha menyelesaikannya sendiri tanpa mengajakku berunding? Saat dia bilang mau meminta izin jelas saja aku senang bukan main. Itu artinya dia kembali menganggap aku sebagai istrinya.

“Meminta izin buat apa, Mas?” timpalku.

“Kalau ….”

“Apa, sih, Mas?” tanyaku geregetan.

“Kalau ada satu orang lagi yang aku bawa untuk tinggal di rumah ini, menurutmu bagaimana? Dia seumuran denganmu, kalian pasti akan akur.”

Jantungku seperti terbelah dua, sambil tersenyum miris aku memastikan apa yang baru saja kudengar. “Mas Rasyid gak lagi minta izin buat menikahi wanita lain, kan?”

Sungguh, aku berharap dia mengatakan tidak. Namun, Mas Rasyid hanya diam dengan pandangan kosongnya. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, merutuki diri sendiri yang tak bisa memuaskannya hingga ia berpikir untuk mendua.

Mas, aku ini hanya wanita biasa, kamu diam sehari saja hati ini sudah gundah gulana. Apalagi jika melihatmu bersama wanita lain. Sanggupkah aku mengizinkanmu menikah dan bermesraan dengan wanita lain di depan mataku?

Sumber Gambar: id.pinterest.com

Tags: aku hanya wanita biasacerpencerpen perempuanCoretankisah suami poligamipoligamiwanita biasa
Previous Post

Tangis di Taman Kenangan

Next Post

Di Atas Awan

Next Post
di atas awan

Di Atas Awan

Discussion about this post

Recommended

pertengkaran dalam rumah tangga

Mengapa Sering Terjadi Pertengkaran dalam Rumah Tangga?

6 bulan ago
Menegur Selingkuhan Suami Tanpa Mempermalukan Diri Sendiri

Menegur Selingkuhan Suami Tanpa Mempermalukan Diri Sendiri

1 minggu ago

Don't Miss

mengoptimalkan tumbuh kembang anak

Alternatif Mengoptimalkan Tumbuh Kembang Anak untuk Ibu yang Bekerja

09/08/2022
kondisi psikis korban perselingkuhan

Kondisi Psikis Korban Perselingkuhan, Rapuh!

09/08/2022
agar anak tidak mudah sakit

Lakukan Ini Agar Anak Tidak Mudah Sakit di Musim Pancaroba

09/08/2022
rumah tangga harmonis

Mama, Papa, Miliki 7 Sifat Ini agar Pernikahan Selalu Harmonis

09/08/2022
  • Tentang Kami
  • Tim Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
  • Kilas Perempuan
  • Mamapedia
  • Mamapapa
  • Ngasuh
  • Coretan
  • Curhatan
  • More
    • Lifestyle
    • Kesehatan
    • Reportase
    • Register
    • Login

Hak Cipta © 2014-2022 Tuturma.ma - Media Informasi Seputar Keluarga.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In