Anak Berkebutuhan Khusus adalah Anak yang Spesial
Tuturmama – “Aku lelah sekali karena mertuaku menyalahkanku terus, Tan,” kata Agnes di telepon. Intan yang mendengarkan sejak tadi mengerti inti pembicaraan itu. Bahwa Agnes ingin menegaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang spesial.
“Aku tahu mereka kecewa cucu tunggal yang digadang-gadang jadi penerus perusahaan keluarga ternyata tidak seperti anak-anak pada umumnya. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Siapa yang mau punya anak berkebutuhan khusus?” Agnes melanjutkan.
“Anakku juga tak ingin lahir sebagai penyandang autisme. Aku dan suami sudah berupaya kesana-kemari mencari penyembuhan buat Joseph. Bahkan waktu hasilnya kurang memuaskan kakek-nenek Joseph, aku dan suami pontang-panting mencari jalan agar bisa memberikan keturunan yang sehat bagi ayah dan ibu mertuaku.”
“Metode inseminasi dan program bayi tabung sudah kujalani dengan susah payah sembari memantau tumbuh-kembang Joseph, tapi hasilnya nihil. Entah kenapa Tuhan belum berkenan memberi adik buat Joseph,” Agnes berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Barangkali supaya anakku itu tetap menjadi kesayangan kakek-neneknya. Karena kalau adiknya nanti jauh lebih baik kondisinya daripada Joseph, anakku itu bisa-bisa terkucilkan dari keluarga suamiku.”
Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus yang adalah Anak Sepsial
Intan mendengarkan dengan sabar keluh-kesah sahabatnya itu, hatinya sungguh iba pada nasib Agnes. Intan sendiri juga mempunyai seorang anak penyandang autisme. Justru dia mengenal Agnes dari sebuah tempat terapi anak berkebutuhan khusus.
Waktu itu anak-anak mereka menjalani terapi dengan jadwal yang sama. Intan dan Agnes yang menunggu selama dua jam di lobi akhirnya berkenalan, bercakap-cakap, dan ujung-ujungnya berteman baik.
Bahkan ketika anak-anak mereka tak lagi menjalani terapi di tempat itu. Kedua ibu muda tersebut masih menjalin hubungan baik dan saling berbagi informasi jika ada pengetahuan baru tentang autisme.
Intan sendiri mempunyai dua orang anak perempuan, yang sulung bernama Nadine berusia sepuluh tahun. Gadis kecil itu sangat menyayangi Viola, adiknya yang baru berumur enam tahun dan berkebutuhan khusus. Keberadaan Nadine sangat membantu Intan dalam membimbing Viola keluar dari dunia kesendiriannya.
Alhasil anak bungsunya itu kini sudah bisa sedikit bersosialisasi. Memang masih tidak setara dengan kemampuan anak-anak tipikal seusianya. Namun Intan dan suaminya merasa cukup puas dengan kemajuan yang Viola capai sejauh ini.
Bagaimanapun juga si bungsu ini telah menjalani berbagai terapi tanpa henti sejak masih berusia dua tahun. Di saat anak-anak lainnya bermain-main dengan gembira, Viola sibuk dengan aktivitas terapi. Mulai dari sensori integrasi, okupasi, wicara, perilaku, dan pijat reflek hampir setiap hari.
Kasihan memang, tak jarang anak itu merasa bosan dan tantrum ketika berada di tempat terapi. Akan tetapi dengan pintarnya sang terapis selalu bisa membuat Viola bersemangat kembali menjalani terapinya.
Anak Berkebutuhan Khusus Sebenarnya Sangat Giat Belajar
Itulah yang sering tak terpikirkan oleh orang lain. Anak-anak berkebutuhan khusus itu sebenarnya belajar jauh lebih giat dan intens ketimbang anak-anak lain yang tidak mempunyai masalah perkembangan. Tapi hasil yang ia capai masih juga dianggap kurang memuaskan.
Padahal anak-anak spesial itu sudah berusaha maksimal. Benar kata Agnes di telepon tadi. Siapa yang minta lahir sebagai anak autis? Siapa pula orang tua yang mau punya anak berkebutuhan khusus?
Semua itu sudah merupakan takdir Yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia tidak berhak komplain melainkan melakukan yang terbaik demi perkembangan buah hati.
Wanita itu merasa bersyukur ayah dan ibu mertuanya tidak pilih kasih. Mereka menyayangi Viola sama halnya dengan Nadine dan cucu-cucu lainnya.
Memang Viola sampai saat ini hanya bisa bergaul dengan kakaknya sendiri. Saudara-saudara sepupunya cenderung tidak mempedulikannya karena merasa bingung menghadapi perilaku Viola yang berbeda.
Intan menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Baginya yang penting keponakan-keponakannya itu tidak mem-bully Viola, baik secara verbal maupun perilaku.
“Aku tak bisa memaksa anak orang lain untuk berteman dengan anakku, meskipun itu keponakanku sendiri,” batin Intan selalu.
Tugas orang tuanyalah mengajari untuk menghargai perbedaan, bukan memaksa untuk berteman dengan anak spesial berkebutuhan khusus. Jika memaksa mereka berteman, maka itu tidak fair.
Viola dan Kepingan Puzzle
Setelah Agnes puas menumpahkan uneg-unegnya, pembicaraan di telepon itu pun berakhir. Intan langsung mendekati Viola yang sejak tadi merangkai puzzle sebanyak dua ratus lima puluh keping.
Anak bungsunya itu memang kuat sekali kemampuan visualnya. Dia bisa dengan cepat menempatkan kepingan-kepingan puzzle pada tempatnya.
“Wah, Vio pintar sekali merangkai puzzle-nya,” puji Intan penuh semangat.
Putri bungsunya diam saja tak berkomentar. Pun tak melihat ke arah ibunya. Dia benar-benar asyik dengan kegiatannya memasang kepingan-kepingan puzzle.
Intan lalu meraih sekeping puzzle dan memasangnya sembarangan pada lubang yang kosong.
“Itu salah,” celetuk Viola sembari memegang tangan ibunya.
Wajahnya masih menunduk, lalu diarahkannya tangan Intan pada lubang yang benar untuk menempatkan kepingan puzzle tersebut.
“Vio memang hebat,” puji Intan lagi. “Pas sekali kepingannya di lubang ini. Terima kasih ya, Sayang.”
Viola tetap tak berkomentar, anak itu asyik kembali dengan aktivitasnya merangkai puzzle bergambar karakter-karakter kesukaannya, Mickey Mouse dan Donal Duck.
Berbeda itu Tak Mengapa, Nak
Gadis kecil itu entah kenapa sejak dulu suka karakter animasi berbentuk binatang. Karakter princess seperti Frozen, Rapunzel, Cinderella, dan sejenisnya kurang menarik perhatiannya.
Intan tak mempermasalahkan hal itu. Dia tak pernah memaksakan selera Viola agar seperti anak-anak lain yang penting anaknya itu kelak bisa hidup mandiri dan tak merepotkan orang lain.
“Viola Sayang,” kata Intan pada putri bungsunya itu. “Kehidupan di luar sana memang tidak mudah, Nak. Banyak orang yang memandang rendah anak-anak spesial seperti kamu. Mereka tak mengerti bahwa kalian sudah belajar keras sejak kecil demi bisa mengejar ketertinggalan.”
“Tapi Tuhan tidak tidur, Anakku. Kelak akan tiba waktunya anak-anak spesial negeri ini berdiri tegak dan membuktikan bahwa mereka juga mampu meraih prestasi setara dengan anak-anak pada umumnya. Tetap semangat ya, Nak. Mama sayang Viola.”
Kemudian dipeluknya si putri bungsu dengan penuh kasih sayang. Viola tertawa dan berkata riang, “Puzzle-nya sudah selesai!”
Sumber Gambar: freepik.com
0 Comments