Bahaya Strict Parents untuk Anak yang Fatal
Tuturmama – Namanya Ningsih, Ibu 3 anak yang kini hanya bisa menangis meratapi kegagalan mendidik putra-putrinya. Ia pun kini harus menanggung bahaya strict parents untuk anak yang tanpa sadar ia terapkan selama ini.
Dia tak menyangka, prinsip tegas dan teratur yang dia terapkan kepada anak-anaknya adalah awal dari bencana yang tak bisa dia perbaiki. Nasi sudah menjadi bubur, kini Ahnaf putra sulungnya mendekam di penjara.
Sayang sekali remaja 17 tahun itu harus menerima hukuman karena terlibat dalam sindikat peredaran narkoba. Sedangkan dia sendiri memiliki prestasi yang gemilang di sekolah bergengsi di kota mereka.
Tak cukup sampai di situ, nestapa ibu 47 tahun itu bertambah lantaran Nisya, gadis bau kencur yang masih duduk di kelas 3 SMP positif hamil 3 bulan. Dia hamil dengan pria pengangguran yang diam-diam sering mengajak Nisya jalan-jalan keliling kota.
Kini harapannya semakin meredup karena Ilham, putra bungsu yang menjadi satu-satunya asa keluarga, terancam drop out dari sekolah. Hal itu terjadi karena ia melakukan tindakan perundungan kepada salah satu teman satu kelas yang menyebabkan siswa tersebut harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Setelah Belajar Ilmu Parenting, Aku Tahu Apa itu Strict Parents
Bagaimana tidak, Ilham yang baru berusia 10 tahun sudah bisa melukai temannya dengan menjepit jemari di ujung daun pintu. Dua ruas jari temannya nyaris putus dan harus diamputasi. Sungguh, tindakan yang membuat miris semua orang yang mendengarnya.
Masalah pelik keluarganya semakin rumit kala keluarga korban melayangkan somasi atas tindakan yang merugikan tersebut. Mereka merasa harus ada keadilan atas apa yang menimpa putra satu-satunya.
Kenyataan pahit yang kini Ningsih alami bukan tanpa sebab. Profesinya sebagai Bidan dia jadikan acuan untuk menerapkan sebuah pola asuh yang menurutnya sangat efektif membuat anak-anaknya patuh dan menjadi sesuai keiginannya.
Terlebih lagi, Dedi-suaminya adalah seorang TNI berpangkat Sertu. Tentu semakin memicu Ningsih untuk menciptakan target pencapaian untuk putra-putrinya agar dipandang hebat oleh semua orang.
Kebetulan, Ningsih dan Dedi adalah sosok yang paling disegani di kampun. Selain karena mereka berasal dari keluarga terpandang profesi keduanya memperkuat image keluarga terhormat. Namun semua itu bukan jaminan, bahwa Ningsih dan Dedi bisa mendidik anak menjadi pribadi yang baik dan memiliki masa depan cerah.
Ambisi Menjadi yang Terbaik, Bahaya Strict Parents untuk Anak
Keinginan Ningsih menjadikan Ahnaf seorang dokter membuat putra sulungnya itu sibuk dengan berbagai kegiatan les dan kursus yang nyaris tak memberinya ruang untuk menikmati masa remaja. Ningsih sudah membuat jadwal khusus untuk Ahnaf, dari Senin sampai Minggu semenjak pagi hingga malam hari.
Ahnaf tak ubahnya robot yang setiap aktifitasnya berada di bawah kendali sang Mama. Kegiatan pribadinya terbatas bahkan dia tak mendapat izin memiliki handphone. Sedangkan sebenarnya Ningsih sangat mampu memberikan fasilitas yang saat ini sudah menjadi kebutuhan primer semua orang.
Alasannya sepele, yakni agar Ahnaf tak punya waktu bermain apalagi membuang waktu dengan chattingan tak penting dengan kawan sebayanya. Ningsih mempersilakan Ahnaf meminjam handphone miliknya hanya untuk hal yang ia anggap urgent atau berkaitan dengan pendidikan.
Keyakinan Ningsih memperlakukan putranya seperti itu memang berbanding lurus dengan prestasi Ahnaf yang selalu menjadi juara dalam kompetisi apapun. Dia bahkan peraih pengahargaan siswa terbaik 2 tahun berturut-turut dan digadang-gadang akan menyabet predikat itu untuk yang ke 3 kali tahun ini.
Siapa yang tak bangga?
Namun kenyataan berkata lain kala Ahnaf terjaring razia ketika sedang bolos sekolah dan melakukan transaksi penjualan shabu. Ningsih tak menyangka, rupanya di balik penurut dan pendiam putra sulungnya rupanya tersimpan sifat buruk dan suka berdusta.
Dia tak pernah tahu, putranya gemar foya-foya di luar sana. Dia baru saja mengetahui bahwa Ahnaf tak benar-benar pergi ke gedung yang biasa dia datangi untuk les tambahan. Anak itu menjadi orang lain saat di luar rumah akibat bahaya strict parents untuk anak.
Ningsih merasa ia kecolongan dan masih belum menyadari kesalahan apa yang membuat putra sulung kebanggaanya menjadi pribadi yang ternyata bermuka dua. Sesal tiada guna, Ahnaf sudah hilang masa depan karena dia juga positif sebagai pengguna narkoba yang entah sejak kapan dia mengenalnya.
Masa Depan Anak Rusak karena Bahaya Strict Parents
Ningsih tak berani keluar rumah, dia terlalu malu untuk menampakkan wajahnya kepada para tetangga. Dia menyadari betul perangainya selama ini sebenarnya cukup membuat gerah orang-orang di sekitarnya. Namun ia tidak pernah tahu bahwa bahaya strict parents untuk anak mengintainya.
Bagaimana tidak, kebiasaannya mengkritik pola asuh tetangga lalu membandingkan anaknya dengan anak orang lain yang sering membuat panas telinga. Dia tak segan mengomentari sesuatu yang dia anggap keliru dari orang-orang di sekelilingnya.
Hanya karena dia adalah bidan, dia bisa mencibir orang yang mungkin kalah dari segi pendidikan. Namun dia lupa, bukankah hal itu bukan tolak ukur seseorang bisa berjaya mendidik buah hatinya?
Kenyataan yang kini bagai melempar kotoran di wajah kedua orang tuanya, membuat Ningsih tak punya muka untuk sekedar membeli sayur di depan rumah. Dia gerah lantaran nama anak-anaknya sedang menjadi buah bibir para tetangga, tidak ada yang tak tahu tentang Ahnaf dan Nisya.
Sudah seperti virus yang menyebar cepat, kabar kehamilan Nisya yang baru saja terungkap sudah diketahui khalayak luas. Mereka begitu penasaran, apakah Nisya akan menikah dengan lelaki pengangguran yang ternyata dari orang tak mampu yang cuma bermodal sepeda motor untuk mendapatkan kesucian Nisya?
Perlakuan Buruk Orang Tua
Ningsih menarik nafas panjang, menatap putrinya yang terlelap di kamar gelap tanpa penerangan. Jemarinya menekan tombol saklar putih yang berada di sisi kanan pintu kamar dan melangkah masuk. Netranya menatap nanar wajah sang putri yang terlihat sembab karena terlalu banyak menangis.
Lengan tangan kebiruan dan kaki yang berbalut perban putih hasil kemarahan sang Papa karena kehamilannya. Nisya sukses mendapatkan puluhan hantaman benda tumpul yang berayun dari lelaki yang sekian lama merasa telah cukup ketat mengawasi pergaulan putrinya.
Sebenarnya perlakuan Ningsih dan Dedi kepada Nisya tak jauh berbeda dengan Ahnaf. Hanya saja Ningsih lebih mengutamakan ilmu agama kepada Nisya agar kelak menjadi Ibu yang sholeha untuk anak-anaknya. Nisya sering sibuk oleh kegiatan kerohanian di masjid, les mengaji, dan kegiatan les pendidikan lain yang juga cukup menyita waktu bermainnya.
Dedi lupa, kala dia mengarahkan sang putri menjadi pribadi religius dan santun, namun dirinya tak memberikan dukungan yang sebenarnya paling krusial dalam tahapan hidup seorang anak perempuan. Yaitu bentuk kasih sayang dari orang tua terutama perhatian seorang ayah agar bahaya strict parents untuk anak tak mengintai.
Anak gadis seusia Nisya, tentu akan mencari kenyamanan di tempat lain kala dia tak mendapatkannya di rumah. Jadilah, Nisya yang masih lugu mendapat perhatian dari seorang pemuda. Bahkan hingga meluluhkan hatinya dan menyerahkan kehormatan yang seharusnya dia jaga.
Perasaan Anak yang Utama
Banyak hal dan peristiwa yang seharusnya cukup memberikan teguran bagi pasangan suami istri ini. Sebenarnya sudah terlihat jauh hari sebelum Nisya hamil dengan seorang lelaki 20 tahun yang merupakan warga tetangga kampung.
Nisya sudah sering membangkang atas apa yang orang tuanya katakan. Nisya memang berbeda dengan Ahnaf yang diam-diam tapi menghanyutkan. Ia lebih ekspresif dan cenderung frontal atas apapun yang dia rasakan bahkan saat bahaya strict parents untuk anak mulai terasa.
Berulang kali Nisya mengkritik pola asuh Ningsih dan Dedi, bahkan tak segan mengatakan bahwa Nisya menyesal punya orang tua seperti mereka yang membuat hidup Nisya dan Ahnaf tak bahagia.
Nisya masih 14 tahun, dirinya masih masa transisi dari anak-anak menjadi remaja. Seharusnya Ningsih peka akan hal itu dan mencurahkan kasih sayang yang sungguh putrinya butuhkan.
Tentu tak mudah bagi Nisya karena masa pubertas ia lalui dengan tekanan, aturan, dan juga hukuman kala dia gagal mewujudkan keinginan orang tuanya. Nisya bahkan sempat melakukan percobaan bunuh diri ketika ia dipaksa masuk pondok pesantren di luar kota.
Dia merasa terbuang karena selalu mendapat label anak gadis yang nakal dan susah ikut aturan. Dedi hanya akan menemui Nisya jika ada maunya, bahkan Nisya cukup jarang berinteraksi dengan sang papa karena alasan yang dia sendiri tidak mengerti.
“Nanti manja dan berani nggak sopan kalau kita baik-baikin anak.”
Ucapan itu yang seringkali terlontar dari mulut Ningsih dan Dedi hingga membuat anak-anak mereka terkesan jauh dari orang tua bahkan membenci dalam diam. Early warning yang terabaikan, Nisya dan Ahnaf yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, harus redup karena sebuah kasalahan dalam pengasuhan.
Sungguh sayang namun mau bagaimana, Ningsih selalu merasa ia sudah benar. Harta melimpah dan status sosial yang tinggi rupanya membuat Ningsih dan Dedi mengesampingkan hak dan perasaan putra-putrinya.
Ambisi menjadikan anak sebagai tolak ukur kesuksesan orang tua rupanya menjadi bumerang bagi keduanya. Mereka tak sadar jika bahaya strict parents untuk anak perlahan menggerogoti keluarganya sendiri.
Rekaman Sang Anak Bungsu
Nisya yang selalu mendapat cap trouble maker keluarga memang lebih berani menyuarakan perasaannya. Ia acap menunjukkan ketidaksukaan sikap dan perluakuan orang tuanya. Watak kerasnya tak hanya saat ada di rumah melainkan ketika remaja itu berada di lingkungan sekolah atau pergaulan antar tetangga.
Nisya sering bertengkar bahkan berkelahi, bukan hanya dengan teman sesama perempuan melainkan dengan lawan jenis. Oleh karena itu, Nisa memiliki banyak bekas luka di tubuhnya. Bukan hanya karena perkelahian, melainkan pukulan dari Dedi.
Sementara Dedi selalu memberikan hadiah pukulan kepada Nisa jika mendapatkan keluhan dari sekolah atau tetangga tentang ‘kenakalan’ putrinya. Dedi juga yang memberikan hukuman menjepit jemari Nisya dengan ujung pintu, kala gadis berhijab itu terpaksa mencuri sebuah Handphone lantaran ingin memiliki.
Semua tindak kekerasan yang orang tua lakukan terekam dengan baik dalam benak Ilham. Anak kecil yang hanya bisa diam kala melihat kakaknya mendapat hukuman dengan begitu luar biasa.
Nisya bahkan tak menangis kala ia mendapatkan berbagai pukulan yang konon sebagai pelajaran agar Nisya jera. Ia sudah terlalu sering menerima itu semua, dia tak lagi bisa menangis hanya karena pukulan orang tuanya.
Kadang kala Ahnaf pun tak luput dari hantaman benda tumpul di kepala atau perutnya kala lelaki itu membela sang adik. Lengkap sudah, semua visual kekerasan terekam apik dalam otak bocah yang seharusnya hanya menerima dan menyaksikan kasih sayang dan cinta dalam keluarga.
Bukan tidak mungkin hal itu yang memicu Ilham menghukum teman yang dia anggap bersalah dengan memukul saat ia ada di bersekolah. Ini karena di rumah, dia melihat Nisya dan Ahnaf tetap bersikap baik pada Papa dan Mama walaupun mendapat perlakuan semena-mena.
Perbuatan Ilham menjepit jemari temannya, juga tak bisa lepas dari ingatannya melihat Dedi melakukan hal yang sama tanpa bocah kecil itu ketahui akibatnya.
Penyesalan Tiada Arti
Banyak cara untuk mendidik anak, tidak harus dengan aturan super ketat apalagi hukuman yang berlebihan. Orang tua seharusnya lebih bijak memilih dan memilah mana yang baik dan yang kurang baik bagi perkembangan mental dan fisik anak.
Buah hati yang bahagia pasti akan lebih mudah mendapat arahan tanpa harus diancam apalagi dengan pemaksaan. Semua hal yang terekam dalam memory anak akan membentuk karakter dan kepribadian mereka kelak.
Ningsih sudah tak punya kesempatan memperbaiki itu semua. Keinginannya menjadi yang terbaik di depan semua orang pupus hanya karena kesalahan yang dia buat sendiri. Menjadi orang tua yang lebih pantas disebut toxic karena menganut sistem strict parents.
Alangkah lebih baik menjadi orang tua, teman, dan juga sahabat bagi anak berapapun usia mereka. Ini karena anak juga manusia, punya perasaan, dan juga sangat memerlukan perlakuan lembut dan rasa aman saat berada di rumah.
Semoga mama dan seluruh orang tua bisa mengambil pelajaran dari kisah di atas dan jauh dari bahaya strict parents untuk anak.
Sumber Gambar: freepik.com
0 Comments