Dua Nenek di Panti Jompo

Published by Sofia Grace on

Tuturmama – Dua Nenek di Panti Jompo

“Hari ini ada penghuni baru yang datang, Bu Siska. Namanya Bu Ratna, umurnya enam puluh satu tahun dan berasal dari kota ini juga. Tadi pagi beliau datang bersama anak laki-lakinya.”

“Oh, orang Surabaya juga. Sama seperti saya, dong.”

“Betul, Bu Siska. Tapi bedanya, Bu Siska kan dulu secara mandiri datang ke panti ini dengan wajah sangat ceria. Sebaliknya, Bu Ratna ini justru tampak sedih sekali waktu datang bersama putranya tadi. Wajah Bu Ratna cemberut, beliau bahkan tidak merespons saat putranya pamit pulang.”

Siska manggut-manggut mengerti, dia dapat meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan cerita Indah, perawat di panti jompo tersebut. Sekarang waktunya ia pergi menemui penghuni baru yang bernama Ratna itu. Siska sudah berdiri tepat di depan pintu kamar penghuni baru tersebut dan mengetuknya dua kali.

Tak terdengar sahutan dari dalam kamar. Kemudian wanita itu mengetuk dua kali lagi sambil menyapa dengan suara agak keras, “Permisi, bisakah saya bertemu Bu Ratna?”

Beberapa detik kemudian pintu terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya yang penampilannya sangat mempesona. Rambutnya panjang melewati bahu dan bergelombang di ujung-ujungnya. Poninya berjambul tinggi dan tertata  rapi.

Alisnya ditato berwarna coklat tua dan kelopak matanya tampak menawan dengan eye shadow berwarna senada. Kulit wanita itu sangat terawat bagaikan masih berumur lima puluhan, bibirnya disaput lipstik berwarna merah tua yang membuat wajah cantik itu tampak tegas.

Dua Nenek di Panti Jompo

“Siapa, ya?” tanya wanita itu sembari menatap Siska penasaran.

“Oh, maaf. Perkenalkan, saya Siska, penghuni lama panti ini,” sahut Siska sembari mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

Ratna menerima uluran tangan itu sekilas, lalu melepaskannya lagi. Siska berusaha memaklumi sikap wanita itu.

“Selamat datang di tempat yang indah dan nyaman ini, Bu Ratna,” ujar Siska ceria. “Saya sudah tiga tahun tinggal di sini dan betah sekali.”

“Kok bisa?” tanya Ratna spontan. “Tempat ini saya lihat biasa-biasa saja. Interiornya serba putih seperti rumah sakit model lama, membosankan. Untung ada taman yang luas untuk menghirup udara segar. Kalau tidak, saya bisa cepat mati tinggal di sini!”

Jawaban ketus lawan bicaranya tak membuat Siska tersinggung. Wanita itu sudah banyak makan asam garam kehidupan, tak mudah terbawa perasaan. Dengan ramah ia ajak penghuni baru itu makan siang bersama para penghuni panti lain di ruang makan.

“Apakah makanan di tempat ini higienis?” tanya Ratna curiga. “Terus bagaimana dengan orang-orang tua yang tinggal di sini? Apakah mereka ramah dan sopan terhadap pendatang baru sepertiku?”

“Tentu saja, Bu Ratna,” jawab Siska tenang sambil mengangguk. “Kami semua hidup rukun di sini. Kalaupun ada beberapa orang yang tidak cocok, ya tidak diambil hati, anggap saja sebagai warna-warni kehidupan. Dulu waktu kita masih bersekolah juga tidak mungkin bisa bersahabat dengan semua orang, bukan? Tapi selama tidak bersikap sebagai musuh, ya tidak masalah.”

“Aku takut tinggal di tempat yang bukan rumahku,” ucapnya terus terang. “Apalagi dengan orang-orang yang sama sekali tidak kukenal. Anak laki-lakiku kejam sekali sudah mengirimku ke panti ini. Padahal, dia selama ini kusayangi melebihi kakak perempuannya. Semua ini gara-gara menantuku yang tak tahu diri, dia jahat sekali sudah menghasut anakku untuk menyingkirkanku!”

Dua Nenek di Panti Jompo

Air mata Ratna jatuh bercucuran. Entah kenapa dia merasa nyaman mencurahkan isi hatinya pada Siska yang baru dikenalnya. Padahal biasanya dia tak mudah percaya pada orang yang baru dikenalnya.

Siska dengan lembut merangkul wanita itu, lalu mengajak Ratna masuk ke dalam kamar supaya pembicaraan mereka tak terdengar orang lain. Karena sikap supel Siska, mereka berdua mulai akrab. Bahkan tak lagi memanggil dengan sebutan Ibu.

Ratna bercerita bahwa suaminya sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat serangan jantung. Sejak saat itulah dia tinggal bersama anak laki-lakinya. Rumah yang dulu ia tempati bersama sang suami dijual dan uang hasil penjualannya ia bagi rata dengan anak laki-laki dan anak perempuannya.

“Ratih sebenarnya mengajakku tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Bali, tapi aku tidak mau.”

“Kenapa? Bukankah lebih enak tinggal dengan anak perempuan daripada anak laki-laki?”

“Pertama, aku tidak suka Bali. Surabaya lebih menyenangkan bagiku karena banyak mal, aku suka shopping dan melihat barang-barang bermerek. Di Bali rata-rata tempat wisatanya berupa pantai, aku tidak suka kena sinar matahari karena bisa merusak kulit. Kamu lihat sendiri betapa aku begitu menjaga kesehatan kulitku, kan?”

Dua Nenek di Panti Jompo

“Terus alasan yang kedua adalah karena dulu aku pernah tidak setuju dengan pernikahan Ratih.”

Siska mengernyitkan dahi. Dia lalu bertanya, “Kenapa?”

Ratna mendesah pelan lalu menjawab dengan malu-malu, “Karena suaminya itu berasal dari keluarga broken home dan tidak kaya, status sosial ekonominya jauh di bawah keluarga kami. Mereka hampir saja kawin lari waktu itu, tapi suamiku membujukku untuk merestui pernikahan Ratih daripada anak kami itu nanti menghilang tak ketahuan rimbanya.”

“Aku terpaksa setuju, tetapi kadang masih agak merendahkan suami Ratih meskipun mereka sudah dikaruniai anak-anak yang lucu. Entah kenapa Tuhan memberkati rumah tangga mereka, suami Ratih bisnisnya meningkat pesat dan mereka sekarang hidup sangat berkecukupan.”

“Bagus dong, kalau begitu,” komentar Siska sambil tersenyum. “Berarti keputusanmu merestui perkawinan mereka tidak salah.”

“Tapi aku jadi malu sendiri. Orang yang dulu kurendahkan malah sekarang lebih sukses dari anak laki-lakiku sendiri, yaitu Wisnu, adik Ratih. Dia itu anak kesayanganku sejak kecil. Ibu mertuaku dulu sangat menginginkan cucu laki-laki sebagai penerus nama keluarga.”

“Aku sampai stres mendapat sindiran cuma melahirkan anak perempuan. Berbagai upaya kulakukan demi bisa mempunyai anak laki-laki. Minum ramuan ini-itulah, periksa ke dokterlah, macam-macam. Jadi ketika Wisnu lahir, aku bahagia sekali, Ratih sampai kuabaikan.”

“Aku bangga sekali pada Wisnu, dia anak yang baik, penurut, dan selalu juara di sekolah. Bahkan dia selalu berpacaran dengan gadis-gadis yang status ekonomi dan sosialnya setara atau justru di atas keluarga kami. Akhirnya ia menikah dengan Shinta, istrinya yang sekarang, seorang dokter spesialis anak. Setelah mempunyai anak, dia memutuskan berhenti bekerja di rumah sakit dan membuka klinik sendiri di rumah yang ditempatinya bersama anakku. Rumah yang suamiku belikan sebagai hadiah pernikahan mereka!” ucap Ratna panjang lebar.

Dua Nenek di Panti Jompo

Sorot mata Ratna tampak emosional ketika mengucapkan kalimat yang terakhir itu, sepertinya dia tidak menyukai menantu perempuannya itu, pikir Siska menduga-duga.

“Dulu Shinta baik sekali padaku,” tutur Ratna melanjutkan ceritanya. “Sikapnya selalu sopan dan ramah. Kami sering bepergian ke luar negeri bersama, tentu saja suamiku yang membiayai semuanya. Termasuk Ratih dan keluarganya juga, tapi aku sering cekcok dengan Ratih. Kami sejak dulu memang sering tidak sepaham. Bahkan kuanggap Shinta yang menantu sikapnya justru lebih sopan daripada Ratih yang anak kandungku sendiri. Ternyata, setelah suamiku meninggal dan aku pindah ke rumah Wisnu, belang menantuku itu ketahuan juga.”

Ratna terisak-isak, setelah berhasil menenangkan diri, Ratna kembali bercerita, “Shinta merasa dirinya lebih paham tentang anak karena profesinya sebagai dokter spesialis anak. Caraku berbicara terhadap kedua anaknya dianggap tidak baik karena selalu membanding-bandingkan yang satu dengan yang lainnya. Terus dia merasa aku terlalu galak pada para pembantu sehingga mereka akhirnya mudik dan tidak kembali lagi.”

“Pembantu-pembantu baru juga banyak yang tidak betah karena sering kutegur. Terus aku sering mengajak Wisnu menemaniku pergi ke mal sedangkan istrinya itu tidak suka shopping. Shinta merasa waktunya berduaan dengan suaminya berkurang semenjak aku tinggal di rumah mereka. Lalu aku harus bagaimana coba? Suami yang biasa menemani dan mendengarkan keluh-kesahku sudah tiada. Wajar kan, kalau aku meminta anak kesayanganku menggantikan ayahnya menemaniku?”

Siska mulai dapat membaca duduk persoalan ini, klise. Ketidakcocokkan antara mertua dan menantu.

“Akhir-akhir ini Shinta bersikap dingin padaku. Aku tahu dia capek sekali harus mengurus rumah tangga, mengajari anak-anaknya pelajaran sekolah, sekaligus menjalankan praktik di rumah. Sudah dua bulan lebih dia tidak mendapatkan pembantu baru. Sampai suatu ketika aku merasa bosan di rumah dan memaksa Wisnu menemaniku shopping di mal. Namun, sepulangnya kami dari mal, Wisnu dan Shinta bertengkar hebat.”

Dua Nenek di Panti Jompo

“Tak kuduga, beberapa hari kemudian Wisnu berkata sebaiknya aku pindah rumah. Aku marah sekali, kukatakan bahwa aku pun berhak atas rumah itu karena yang membelinya adalah suamiku! Wisnu diam saja. Tapi akhirnya hari ini Wisnu mengantarku ke tempat ini. Alangkah malangnya nasibku, Siska. Anak yang kusayangi menjadi durhaka!”

Tangisan Ratna menyeruak lagi, kali ini lebih kencang. Siska menepuk-nepuk pundak perempuan yang hanya dua tahun lebih muda darinya itu.

“Sudahlah. Berhenti bersedih terus, Ratna.”

“Aku mau mati rasanya, menyusul suamiku. Sempat kuancam Wisnu dengan mengatakan bahwa aku akan bunuh diri di tempat ini, tapi anakku itu rupanya sudah tertutup mata hatinya. Dia tetap membawaku ke tempat yang mengenaskan ini.”

“Cukup, Ratna!” tegur Siska kemudian.

Dia tak terima tempat tinggalnya yang nyaman dan hangat dianggap mengenaskan oleh orang yang baru beberapa jam menginjakkan kakinya di tempat ini. Ratna terkesiap. mulutnya ternganga. Dia merasa semakin nelangsa. Sudah dibuang oleh anak kesayangannya di tempat asing ini, masih dikerasi pula oleh penghuni lama yang tadinya dia kira orang baik.

“Minumlah dulu, Ratna,” ujar Siska seraya menyodorkan sebotol air mineral yang tersedia di kamar itu.

Ratna menerima botol itu dan meminumnya. Siska menghela napas panjang, dia merasa sudah saatnya mengungkapkan pendapatnya.

“Dari apa yang kamu ceritakan tadi, aku sedikit banyak bisa mengambil kesimpulan. Kita ini sudah menjadi nenek sekarang, Ratna. Siklus hidup kita sudah berubah. Dulu kita mengasuh dan  mendidik anak-anak kita. Setelah anak-anak itu dewasa, giliran merekalah yang menjalankan peran sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka sendiri. Kita hanya bisa memantaunya dari jauh dan memberikan masukan jika perlu.”

“Peran kita mengatur kehidupan anak itu sudah selesai, Ratna. Tuhan memberikan masa tua ini supaya kita bisa menikmatinya. Tempat ini didirikan bukan sebagai pembuangan orang-orang tua yang dianggap sudah tidak berguna. Justru di sini diharapkan kita-kita yang sudah sepuh ini bisa hidup bersemangat kembali seperti dulu.”

Dua Nenek di Panti Jompo

Ratna tercenung mendengar penuturan Siska. Lalu dia berkata pelan, “Aku tidak bisa hidup sendirian, Sis. Aku suka berada di tengah-tengah keluargaku.”

“Kalau begitu jadilah orang yang mempunyai sifat menyenangkan,” tandas Siska terus terang.

“Berhenti mengatur hidup orang lain, membanding-bandingkan mereka. Bayangkan kalau kamu berada di posisi menantu perempuanmu, maukah kamu tinggal serumah dengan mertua yang seenaknya sendiri memarahi pembantu-pembantu sampai tidak ada yang betah? Lalu membanding-bandingkan cucu yang satu dengan yang lainnya sampai mereka jadi tidak enak sendiri? Anak dan menantumu itu sedang dalam masa emas menjadi orang tua, jangan usik dengan sikapmu yang seolah-olah tahu segalanya karena merasa lebih banyak pengalaman.”

“Tapi itu dulu ibu mertuaku pun begitu. Dia selalu mencampuri urusanku, mengatur-aturku begini dan begitu, untung kami tidak pernah tinggal satu rumah,” sergah Ratna tak mau kalah.

“Nah, kamu kan sudah pernah merasakan susahnya punya mertua yang suka ikut campur. Kenapa sekarang kamu mengulangi kejadian yang sama pada menantumu? Mau balas dendamkah?”

Ratna menggeleng kuat-kuat, air matanya berlinang kembali. Lalu dengan terbata-bata wanita cantik itu berkata, “Aku ini merasa kesepian sekali sejak suamiku meninggal, kamu tidak tahu rasanya …”

“Suamiku meninggal saat anak tunggalku masih berumur enam tahun!” sergah Siska tak tahan lagi.

Ratna terperangah. Dia tak menyangka wanita di hadapannya mengalami nasib semalang itu. Seketika ia merasa malu.

Dua Nenek di Panti Jompo

Kemudian Siska menceritakan kisah hidupnya, “Suamiku meninggal dunia akibat kecelakaan kereta api. Aku yang saat itu hanyalah ibu rumah tangga harus beradaptasi dengan keadaan. Anak perempuanku butuh makan, sekolah, les, dan lain-lain demi mencapai masa depan yang lebih baik. Akhirnya aku banting tulang demi mencari nafkah. Setelah anakku bisa mandiri dan akhirnya menikah, kuputuskan untuk menjual rumahku dan menetap di panti jompo ini.”

“Hah?!” seru Ratna tak percaya. “Kenapa kamu tidak tinggal bersama anakmu, Sis?”

Wanita di hadapannya menggeleng, wajahnya tersenyum bijaksana. “Aku sudah merasakan lelahnya hidup penuh perjuangan selama dua puluh tahun lebih. Melihat anakku hidup bahagia dengan pasangan pilihannya saja sudah membuat hatiku tenteram, Ratna. Aku menyadari kewajibanku sudah tuntas. Giliran anakku yang menjalankan peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya sendiri, aku tak mau ikut campur. Tapi kalau mereka butuh bantuan, dengan tulus hati aku akan mengulurkan tangan.”

Ratna termangu selama beberapa saat.

“Berhentilah mengasihi diri sendiri, Ratna,” nasihat Siska kemudian. “Anak-anak muda itu sebenarnya juga bingung menghadapi kita yang cara berpikirnya sudah jauh berbeda dengan generasi mereka. Jangan sampai perkawinan mereka yang bahagia hancur karena keegoisan kita. Menjadi orang tua itu tidak mudah, kita sudah mengalami masa-masa itu.”

“Untuk itulah sebenarnya panti jompo ini didirikan oleh temanku. Dia ingin menampung orang-orang tua agar bisa menikmati masa-masa akhir hidup mereka dengan bahagia dan tetap produktif. Di tempat ini banyak sekali kegiatannya.”

“Percayalah, anak dan menantumu tak bermaksud membuangmu. Mereka hanya ingin membuat masa tuamu terasa lebih berwarna dengan tinggal bersama orang-orang sebaya di tempat ini. Dan nanti kalau Wisnu, Shinta, dan cucu-cucumu datang menjenguk kemari, bersikap baiklah pada mereka.”

Ratna tersenyum. Hatinya berangsur-angsur tenang sekarang, semoga ia bisa menyesuaikan diri di panti jompo ini.

Sumber Gambar: istockphoto.com


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

dhankasri hindisextube.net hot bhabi naked rebecca linares videos apacams.com www tamilsexvidoes lamalink sexindiantube.net chudi vidio sex mns indianpornsluts.com hd xnxxx shaving pussy indianbesttubeclips.com english blue sex video
savita bhabhi xvideos indianxtubes.com xxx bombay live adult tv desitubeporn.com mobikama telugu chines sex video indianpornsource.com video sex blue film sex chatroom indianpornmms.net old man xnxx aishwarya rai xxx videos bananocams.com sex hd
you tube xxx desixxxv.net xossip english stories sanchita shetty pakistaniporns.com mom sex video cfnm video greatxxxtube.com sex marathi videos mmm xxx indianpornv.com sexxxsex xvideosindia indianhardcoreporn.com ajmer sex video