Tuturmama – Dwi dan Pengamen Misterius
Dwi pikir bagaimana caranya membedakan suara musik dari para pengamen jalanan yang sering gunjrang-gonjreng dari rumah ke rumah, di angkot, atau pinggir jalan. Kalaupun ada yang berbeda, itu hanya dari alat musik yang mereka gunakan. Entah itu gitar, kecrekan, atau hanya sebuah botol aqua berisikan beberapa butir batu.
Bahkan lagu-lagu yang mereka dendangkan terdengar sama saja di telinganya. Kalau tidak dangdut, lagu pop yang sedang viral, ya pastilah lagu lawas. Sebelumnya Dwi bukanlah seseorang yang begitu penasaran dengan musik, tetapi semenjak tukang ngamen―begitu ibu menyebutnya―itu sering mampir ke depan rumahnya, ia jadi penasaran.
Sebab tak pernah ia dengar pengamen dengan musik seperti itu, di mana hanya ada suara “dug, dug, dug” yang menurutnya sama sekali tak sedap didengar, tanpa lagu-lagu yang sekiranya sedang viral, dangdut, atau lagu lawas. Jadilah ia putar haluan menjadi seorang pemerhati musik di kalangan pengamen.
Bahkan, jika teman sekolah di kelasnya ada yang gunjrang-gonjreng main gitar sambil teriak-teriak menyanyi dengan suara fals-nya, tetap ia dengarkan. Pikirnya, untuk mendapatkan sesuatu, meskipun itu sebuah jawaban sederhana, haruslah ada pengorbanan. Maka ia korbankan telinganya untuk mendengarkan dengan saksama setiap pengamen yang bisa kapan saja hinggap di hadapannya.
Syukur-syukur jika suara mereka terdengar merdu, meski fals pun tetap setia ia dengarkan. Walau tak satu pun dari mereka ia beri recehan untuk sebuah apresiasi atau sedekah, sebab uangnya sangat pas hanya untuk bayar angkot pulang pergi sekolah, dan jajan gorengan tiap istirahat tiba. Setidaknya aku kan sudah mendengarkan mereka dengan baik hingga selesai, begitulah pikirnya.
Baca Juga: Kenyataan Itu Bernama Naraya Indigara
Sayangnya perjuangan yang telah ia lakukan tak kunjung membuahkan hasil. Tak ada satu pun musik para pengamen itu yang sama dengan pengamen yang sering bertandang ke rumahnya. Barangkali apa gunanya Dwi begitu repot menuntaskan rasa penasarannya pada si pengamen.
Padahal banyak tugas sekolah yang harus ia kerjakan, juga tugasnya menjaga adik sepulang sekolah membutuhkan konsentrasi penuh. Namun, ia kini menempatkan pengamen yang menurutnya misterius itu sebagai prioritas utamanya dalam penyelesaian masalah. Sebab ia heran, kata ibunya pengamen itu selalu datang di Kamis malam, atau Senin pagi buta saat dirinya hendak bersiap untuk pergi sekolah.
Keheranan yang kedua adalah meskipun suara dari si pengamen itu tak sedap, ibunya selalu cepat-cepat keluar rumah. Katanya untuk memberikan si pengamen recehan agar bisa lekas pergi. Padahal kan ibunya bisa saja mengusir atau membiarkan mereka menunggu hingga bosan, lalu pergi.
Keheranan yang ketiga menurut Dwi, ketika ibu akan menemui si pengamen, Dwi dan adiknya selalu ibu sembunyikan di kamar mandi, lalu ibu menyalakan keran yang bahkan kucuran airnya tak dapat mengalahkan suara bum ketika Dwi atau adiknya sesekali terserang mencret. Kata ibu, Dwi dan adiknya perlu untuk ke kamar mandi, sebab bisa saja adiknya ingin buang air kecil ketika ibu pergi mengurus si pengamen.
Selama ini, Dwi selalu menurut pada titah ibu di Kamis malam atau Senin pagi buta itu. Dwi tak pernah sekalipun melihat wujud si pengamen atau alat musik yang digunakannya.
“Ibu kasih uang lagi ke pengamen itu?” Dwi telah keluar dari persembunyiannya. Di pundaknya telah tersampir handuk coklat tua yang entah berapa lama usianya, sebab benang-benang di bagian sisinya telah banyak berhamburan keluar.
“Iya. Ayo mandi. Ibu bikin telur ceplok dulu di dapur.”
Baca Juga: Hari-Hari setelah Akad
Saat itu masih pukul enam pagi, bahkan Dwi rasa jalanan pun masih gelap tertutup kabut, tetapi si pengamen telah giat mendatangi rumah mereka, dan hebatnya ibu dengan sigap mengeluarkan uang untuk orang lain. Sesekali Dwi takjub pada ibunya. Ia kira ibunya begitu rajin bersedekah, dan sepertinya rumah merekalah yang pertama kali si pengamen datangi di hari itu.
Sambil menggosok giginya yang berwarna sedikit kuning, Dwi berpikir betapa tak mengherankan jika ibunya sangat bekerja keras. Di pagi hari ibu mencuci baju kotor tetangga, menyetrikanya, mengepel lantai rumah tetangga. Lalu sorenya menjual gado-gado dengan jumlah pembeli yang tak seberapa, sebab pelanggan setianya hanya tiga hingga lima orang yang tinggal tepat di samping kiri, depan, dan belakang rumahnya.
Pantas saja pekerjaan ibu begitu banyak, karena selain memberi makan adik dan dirinya, ibu juga rajin menafkahi si pengamen setiap dua minggu sekali. Padahal enak didengar saja tidak, rutuknya dalam hati ketika ia meludah busa bekas gosok giginya ke lubang pembuangan air.
Telur ceplok buatan ibu adalah lauk favoritnya, atau barangkali Dwi telah terlalu terbiasa makan telur ceplok setiap pagi berangkat sekolah. Terkadang ia lebih memilih tak sarapan karena merasa bosan tiap pagi lidahnya harus bergulat dengan anyirnya telur. Biarpun begitu, di malam hari ia akan kembali menyantap telur ceplok buatan ibunya itu, sebab kata ibu hanya telur yang sangat bisa tergapai harganya oleh uang mereka, dan tentu saja rasanya nikmat.
Baca Juga: Musik Kematian Nocturne No. 2 in E-Flat Major
Harga ikan asin ternyata sedang naik, dan ibu tak berani ambil risiko. Apalagi jika harus nekat membeli daging. Bisa-bisa mereka tak makan untuk tiga hari ke depan.
Padahal hidup sudah semelarat ini, pikir Dwi sinis. Tapi ibunya tetap bersikukuh memberi recehan ke tukang ngamen. Meskipun recehan, tetap saja jika ibu simpan dan kumpulkan, mereka mungkin bisa makan daging meski sebulan sekali. Dwi bahkan lupa bagaimana rasa daging ayam, daging kambing atau daging sapi.
Jelas saja, ia dan keluarganya bisa makan daging-daging itu hanya dua kali dalam setahun, yaitu ketika hari raya Fitri dan Adha, dan sekarang perutnya seketika keroncongan karena pagi tadi tak sarapan. Ia sedang sendirian di kelas pada waktu istirahat telah berjalan setengah jam. Sama sekali tak berani pergi ke warung sekolah hanya untuk jajan gorengan, sebab uang pun ia tak bawa.
Bahkan Dwi tak punya teman dekat untuk ia mintai pisang goreng satu gigit saja. Dengan perut keroncongan ia makin merana memikirkan ibu yang menurutnya aneh. Ingin sekali ia bilang pada ibunya, “Bu, kita sudah sangat miskin dan melarat. Tak usahlah ibu kasih makan juga orang lain, apalagi yang datangnya di pagi buta. Padahal untuk uang jajanku saja, kadang ibu harus mengetuk pintu rumah tetangga dulu untuk pinjam uang dan pulang dengan wajah tanpa dosa lalu tersenyum padaku. Seolah-olah aku tak tahu ibu sudah kena cemoohan orang lain.”
Begitulah yang ingin Dwi katakan keras-keras pada ibunya, tetapi ia takut menyakiti hati ibu dengan kata-katanya. Dwi tak rela ibu bekerja begitu keras, tapi tak mau jika mereka sampai tak bisa makan. Dwi tak terima para tetangga menghina ibu, tapi bagaimana nasib uang jajannya.
Baca Juga: Lelaki Tua di Ruang Tunggu
Ia tak suka ibu selalu kasih si pengamen uang recehan, tapi kata ibu sedekah itu baik terlebih di pagi hari. Sebab tangan ibu adalah malaikat, yang selalu beri ia nyenyak dan kenyang. Tubuh ibu adalah hangat, yang menyelamatkannya dari gigil kehidupan.
Suara ibu adalah sebuah perintah sekaligus nasihat, yang perlu ia patuhi. Sementara ia hanya seorang gadis tiga belas tahun, yang labil dan selalu butuh ibu di sampingnya.
“Ibu mau ke mana?”
“Begini, minggu lalu ada yang nawarin ibu buat kerja. Ya meskipun jauh, tapi gajinya pastilah besar. Kalau jadi, ibu janji akan selalu kirim uang untuk kalian di sini. Gajinya besar.”
“Itu bukan jauh lagi, Bu. Tapi saaaaaangat jauh. Luar negeri yang itu, kan? Ibu harus keluar dari Indonesia buat bisa ke luar negeri. Kalau ibu pergi, bagaimana dengan aku dan adik?”
“Iya, jauh. Itulah kenapa gajinya besar, karena kerjanya jauh sekali. Itulah tujuan ibu bilang ini. Biar nanti, kamu bisa jaga adikmu. Ibu akan titip kalian ke nenek. Kamu sudah besar, pasti bisa jaga adik dan sekolah dengan baik sementara ibu cari uang yang banyak. Ya, Dwi? Gajinya besar, Nak.”
Dwi tak menyangka akan tiba hari ini, di mana ibu membujuk sambil memegangi tangannya erat. Ia paham keinginan dan kekhawatiran ibunya, sampai-sampai mengulang kata gajinya besar beberapa kali. Ibu juga telah begitu putus asa dengan meyakinkan Dwi melalui iming-iming gaji besar.
Namun, Dwi sama sekali tak menyukai ide tentang ibu pergi ke luar negeri atau ke mana pun itu yang membuat mereka terpisah jarak dalam waktu yang lama. Ia merasa tak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus adiknya. Meskipun ada nenek, tetapi tetap saja. Ia akan kehilangan kehangatan ibu saat tidur atau nikmatnya telur ceplok di pagi hari.
Baca Juga: Lemari Pakaian dan Sebuah Ritual Penyiksaan
Dwi makin tak menyukai ide ibu pergi jauh ketika sebuah pikiran melintas di kepalanya. Tentang si pengamen yang selalu datang dua kali dalam seminggu di pagi buta.
“Ibu sudah bekerja keras sekali. Sampai tangan ibu kasar begini. Kan aku dan adik sudah cukup makan ikan asin atau telur ceplok buatan ibu. Kami tak akan minta apa pun yang mahal. Kecuali alasan ibu ingin kerja jauh itu juga buat ngasih lebih banyak ke tukang ngamen. Memangnya ibu mau sedekah sebanyak apalagi sama mereka?” kata Dwi sinis di akhir kalimatnya.
Meskipun ia telah menghentikan misinya untuk mencari tahu tentang musik yang dibawakan si pengamen, sebab hasilnya nihil. Tetap saja, ia masih penasaran apa motif si pengamen dan sikap tanggung jawab ibunya terhadap recehan yang tiap dua minggu sekali ibu berikan pada mereka.
“Ya. Itu salah satunya, Dwi. Suatu hari kamu akan mengerti. Percayalah pada ibu.”
Suatu hari yang ibu maksud adalah tak lama setelah ibu membujuk untuk kesekian kalinya, dan selalu ia tolak. Tak pernah ia rencanakan untuk menangkap basah si pengamen seperti ini. Ketika di hari Minggu ia harus menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok, lalu di hari Senin pagi ia harus pulang ke rumahnya dulu untuk mengambil tugas individunya yang tertinggal.
Pikirnya, sekalian saja sambil mandi, sarapan, dan bersiap dari rumah, maka ia pun pulang ke rumah di pagi buta yang dingin meski ia telah pakai jaket yang bapaknya belikan empat tahun lalu sebelum bapak wafat. Di sanalah mereka. Sekitar tujuh meter untuk sampai ke beranda rumahnya, Dwi melihat ada empat orang laki-laki dengan perawakan tinggi besar, kepala botak, menggedor pintu rumahnya dengan cukup keras.
Dwi menyaksikan bagaimana gedorannya makin keras hingga membuat pintunya bergetar ketika ibu tak kunjung keluar. Dwi menyaksikan bagaimana ketakutannya ibu, bagaimana ibu dibentak dan uang yang ibu pegang dirampas dengan kasar.
Baca Juga: Pena Anyelir
Ia juga menyaksikan para tetangga hanya mengintip dari sela-sela tirai jendela yang dibuka sedikit. Ternyata yang selama ini Dwi dengar bukanlah sebuah musik atau lagu yang aneh, melainkan gedoran kencang pada pintu rumahnya. Ternyata uang yang ibu berikan bukanlah uang recehan, tetapi ratusan ribu yang diam-diam ibu simpan dari hasil kerja kerasnya.
Juga ternyata gunjingan orang-orang yang selalu tak ia pedulikan benar adanya. Bapak punya banyak hutang, dan ibu yang kini harus membayarnya. Dwi tak melanjutkan langkahnya untuk pulang selepas orang-orang itu pergi. Ia memilih berbalik arah dan akan bersiap di rumah temannya saja, tak peduli dengan tugas sekolahnya.
Pantas saja ibu bekerja sangat keras. Sebab ibu perlu uang tak hanya untuk makan dan jajan Dwi beserta adiknya. Juga, pantas saja ibu ngotot buat kerja di luar negeri, pikirnya sedih. Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk berpisah jauh, sebab sudah merasa bosan miskin. Meski selama ini kemiskinanlah yang memberi mereka makan.
Mereka telah bersiap tidur dengan kini posisi ibu berada di tengah-tengah Dwi dan adiknya. Lampu telah dipadamkan, selimut telah mereka tarik hingga pinggang. Posisi ibu membelakangi Dwi ketika menidurkan adiknya, lalu terlentang ketika sang adik telah terlelap. Ketika suara jangkrik makin terdengar nyaring, Dwi memeluk perut ibu erat.
Baca Juga: Ladu Ketan Hitam, Lengket Meski Dijeda Pertengkaran
“Bu, Ibu masih mau kerja di luar negeri? Kalau masih mau, Ibu boleh kok ke sana. Sejauh apa pun luar negeri itu, Dwi bakal izinin ibu. Dwi juga janji bakal jagain adik dan nurut sama nenek. Mungkin ibu bakal jarang pulang ya? Tapi gak apa-apa. Demi hidup kita yang lebih baik kan, Bu? Ibu juga boleh buat selalu kasih recehan ke pengamen. Kan kata ibu sedekah itu baik. Dwi kasih izin ibu.” Dwi mendongak, pelukannya makin erat.
Meskipun ibu diam, Dwi tahu mata ibu berkaca-kaca. Dwi juga tahu tangan ibu tetap seperti malaikat ketika mengelus kepalanya meski sekeras dan sejauh apa pun ibu bekerja. Ia harus tetap bahagia, sebab mereka pantas untuk bebas. Mereka harus berusaha agar pintu rumah tak lagi digedor dengan keras tiap Kamis malam dan Senin pagi.
Sumber Gambar: woman1924.tumblr.com
Discussion about this post