Inilah Hidup, Katanya
Tuturmama – Inilah Hidup, Katanya
“Pada banyak kesempatan, kita akan menemukan banyak sekali kebahagiaan. Namun, adakalanya kita dihadapkan pada kesusahan yang membuat kita bingung, bahkan putus asa. Meskipun kita begitu membenci keadaan terpuruk itu, kita harus tetap berjuang untuk bangkit kembali meraih kebahagiaan, karena inilah hidup,” katanya. Mengakhiri sebuah motivasi panjang di panggung sederhana pada penghujung acara masa orientasi sekolah yang diselenggarakan oleh SMP Harapan Tinggi.
Laki-laki dengan jas licin itu sedikit membungkuk dengan mata seteduh rimbun pohon. Matanya mengamati satu per satu murid baru yang sangat antusias hadir di kegiatan itu dengan atribut yang diatur sedemikian rupa oleh kakak kelas mereka yang sepertinya punya dendam turun-temurun.
Auditorium seketika penuh dengan tepuk tangan yang terdengar dari mana-mana, tak terkecuali seorang siswi dengan kuncir dua berpita merah muda, topi dari sepotong bola plastik, dan tanda pengenal yang menutupi seluruh dadanya, bertuliskan “Hai, namaku Gadis. Ayo berteman denganku” dengan huruf sedikit miring dan tebal.
Si Gadis ini duduk di kursi paling pojok sebelah kanan. Sendirian dan tampak mengisolasi diri. Sesekali ekor matanya melirik ke arah dua tiga murid lain yang asik cekikikan atau mengobrol. Si Gadis tersenyum, mulai membayangkan tentang kehidupan sekolahnya yang kelihatannya akan menyenangkan.
Belajar, memiliki banyak teman, bermain bersama, membuat kelompok belajar, atau kalau sempat berniat nakal, mungkin dia bisa sesekali bolos bersama teman-temannya untuk menonton film. Sayangnya si Gadis belum mendapatkan sosok teman yang akan ia ajak atau mengajaknya membolos kelak. Mungkin nanti di kelas, pikirnya optimis.
Inilah Hidup, Katanya
Di sisi lain, hatinya penuh kegembiraan pula sebab diam-diam si Gadis merasa tersembuhkan jiwanya oleh kalimat motivasi Sang Motivator yang ia lupa namanya siapa. Ia jelas ingat isi dari motivasi hari ini adalah tentang hidup yang terkadang sulit sekali.
Akan ada saja rintangan-rintangan di dalamnya. Namun, Sang Motivator memberikannya pencerahan, bahwa inilah hidup. Tak akan kau temukan hidup yang enak-enak saja, meskipun si Gadis merasa cobaan hidupnya begitu banyak.
Pada banyak waktu si Gadis seringkali bertanya-tanya pada dirinya sendiri, pada ibunya, pada neneknya tentang mengapa ayahnya harus mati? Mengapa ibu selalu bekerja sangat keras? Mengapa hampir setiap hari datang orang-orang menggedor pintu rumah mereka dan berbicara tak sopan pada ibu sambil meminta uang?
Nenek hanya menjawab si Gadis harus sabar dan belajar dengan benar. Sedangkan jawaban ibu adalah jawaban yang paling ia ingat, karena kita miskin. Kemudian muncul pertanyaan baru di kepala si Gadis, mengapa kita miskin?
Pertanyaan itu tak pernah ia suarakan pada siapa pun, dan hari ketika Sang Motivator berbicara, si Gadis seolah menemukan jawabannya, sebab inilah hidup. Ia diam-diam mensyukuri hidupnya yang seperti bangunan reyot, yang ketika cuaca panas dapat memberikan teduh, namun jika hujan datang akan penuh dengan rembesan air.
Yah, begitulah hidup. Barangkali begitulah yang juga semua orang alami di dunia ini, pikirnya. Sebelum kemudian suatu hari yang seharusnya baik, menjadi hari terburuknya dan si Gadis menambah daftar kebenciannya, yaitu kalimat motivasi Sang Motivator.
Kisah tentang hari buruk ini berawal dari pernyataan si Gadis sendiri tentang dirinya. Sebuah pengakuan jujur jelas bukan sebuah dosa, tetapi kita tak pernah tahu bagaimana reaksi orang lain tentang kejujuran itu.
Inilah Hidup, Katanya
Hari itu adalah kali pertama para murid baru memasuki kelas mereka. Hari di mana akhirnya si Gadis memiliki teman pertamanya di SMP. Seorang murid bernama Annisa yang ternyata sedikit pemalu.
Mereka hanya sesekali saling melempar senyum, menanyakan nama masing-masing, kemudian saling diam. Sungguh teman dengan frekuensi yang sama. Di hari itu pula si Gadis membuat sebuah pernyataan yang menggemparkan hampir seluruh siswa di SMP Harapan Tinggi sekaligus mengubah hidupnya secara besar-besaran.
Salah seorang guru bertanya pada semua murid tentang hal apa yang paling tidak mereka sukai. Sebetulnya jawaban si Gadis tidak aneh, ia hanya menjawab dua hal yang tampak normal. Pertama, ia tak suka ikan asin yang ibunya masak karena selalu saja keasinan. Kedua, ia tak suka hidupnya yang miskin.
Namun, dampak dari jawabannya begitu luar biasa. Hari pertama selepas jawaban tersebut, si Gadis tak sadar efek yang ia timbulkan. Sepanjang hari itu ia belajar dengan riang, sesekali mengajak Annisa mengobrol, tanpa tahu arti bisikan-bisikan tipis dari teman-teman sekelasnya.
Hari-hari berikutnya ia mulai merasakan dampak itu. Sekeras apa pun jiwa canggungnya berusaha menyapa temannya yang lain, yang ia dapatkan hanyalah tubuh yang menghindar, dan alis mereka yang mengerut jijik. Tatapan-tatapan itu ia dapatkan dari hampir seluruh siswa di sekolah.
Pernah suatu hari ia bertanya pada Annisa. Kala itu suasana kelas kosong. Para siswa sibuk mencari-cari makanan apa yang cocok dengan lidah dan uang mereka. Sementara si Gadis dan Annisa menikmati bekal mereka dengan telur dadar dan mi goreng penuh kecap.
“Kamu tau, Nis? Akhir-akhir ini aku rasa teman-teman yang lain menghindariku, ya. Mereka seperti jijik padaku, kamu tahu sesuatu, Nis?”
Inilah Hidup, Katanya
“Begitulah orang kaya bersikap pada orang macam kita ini. Masa kamu gak tahu?” si Gadis tak pernah menyangka bahwa Annisa yang biasanya kalem dan pendiam bisa menjawab pertanyaannya sesinis ini.
“Maksudmu?” Kali ini Annisa terlihat lelah dengan kepolosan si Gadis.
Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya sesekali melirik cemas beberapa siswa yang berlalu-lalang di depan pintu, takut-takut ada yang mendengar pembicaraan rahasia mereka. Namun, ketika menjawab pertanyaan Si Gadis, meskipun suaranya pelan, mata Annisa kembali pada kesinisannya.
“Hah, kamu ini Gadis. Kamu tahu kan kalau sekolah ini salah satu sekolah paling bagus di sini?”
“Ya, jelaslah,” jawabnya bangga. Sebab dengan segala keterbatasannya, ia mampu bersekolah di sini.
“Kamu tahu juga kan kalau tidak dapat beasiswa macam kita, untuk sekolah di sini itu mahal?”
“Ya, katanya sih begitu.”
“Nah, kalau begitu sudah jelas jawabannya,” katanya sambil kembali menyantap bekal makanannya. Suasana kelas masih kosong.
“Apanya yang jelas, Nis? Itu kan sudah jadi rahasia umum.” Kesal si Gadis menyendok mi gorengnya dalam jumlah yang banyak.
“Begini, Gadis. Sekolah ini paling bagus, bayarnya pun mahal. Harusnya kamu sudah sadar dari pertama melewati gerbang mewah di depan itu. Jelas yang bersekolah di sini adalah anak-anak orang kaya. Kamu gak lihat ya setiap hari mereka datang pakai mobil mewah? Tak seperti kita yang naik angkot panas-panasan atau bahkan jalan kaki karena tak lagi punya uang untuk ongkos. Padahal dari pakaian saja terlihat lho, kita ini begitu lusuh kalau berdekatan sama mereka.”
Si Gadis hanya manggut-manggut memikirkan jawaban panjang dari Annisa yang biasanya pendiam. Ternyata Annisa adalah pemerhati yang baik. Ia sangat suka dengan itu.
Inilah Hidup, Katanya
Kemudian tentang siswa-siswa kaya yang selalu datang pakai mobil mewah, itu memang benar, tetapi Si Gadis tak pernah memandang itu sebagai sebuah masalah. Hanya saja sewaktu-waktu ketika cuaca sedang terik sekali dan ia harus berdesakan dalam angkot untuk perjalanan pulang, ia iri pada temannya yang nampak nyaman masuk ke dalam mobil jemputan mereka.
Ia hanya berharap suatu hari nanti bisa menikmati nyamannya mobil mewah dan sejuknya AC. Namun, untuk hal ke dua yang Annisa jabarkan, selama ini memang si Gadis tak pernah menyadari itu. Ia tak merasakan adanya perbedaan dari apa yang dia dan temannya yang kaya raya itu pakai di tubuh mereka, sebab itu hanya terlihat seperti seragam putih biru pada umumnya.
Sayangnya kali ini si Gadis tiba-tiba merasa begitu rendah diri. Annisa benar, mereka begitu berbeda. Secepat dirinya merasa begitu rendah diri, secepat itu pula ia kembali pada keteguhannya berkat petuah Sang Motivator, inilah hidup.
Ia merasa bahwa perbedaan itu wajar, toh mereka tetaplah sama. Mereka adalah manusia. Si Gadis pikir ia yang miskin bisa berdampingan dengan baik dengan mereka yang kaya. Begitulah anggapannya sebelum seminggu kemudian mata yang menatapnya seperti kotoran dalam kloset yang tak disiram itu semakin bertambah jumlahnya.
Dua bulan kemudian semakin menyebar layaknya wabah. Bahkan beberapa kakak kelasnya dengan terang-terangan menyebutnya miskin dan kumal untuk mengundang tawa dari yang lain. Si Gadis mulai merasa tak nyaman dengan hal itu.
Lambat laun ingatannya tentang kalimat Sang Motivator pudar dari ingatannya. Sebagaimana ia benci hidupnya yang miskin, sesekali ia pun benci pergi ke sekolah. Namun, melihat ibunya yang pontang-panting bekerja hanya untuk memberinya makan dan bekal jajan, ia memaksakan tubuh dan hatinya menghadapi peperangan mentalnya sendiri. Ia juga tak ingin menyia-nyiakan beasiswanya.
Inilah Hidup, Katanya
“Kenapa kalian membuang sampah di bawah bangkuku?” tanya si Gadis ketika baru saja sampai tepat di depan tempat duduknya.
“Pakai tanya lagi. Ya jelaslah kalau sampah itu bersatunya dengan sampah lagi. Iya gak, Nis?” Annisa yang tiba-tiba saja mendapat pertanyaan itu hanya bisa menunduk dan mengangguk.
Siswa yang lain sontak tertawa. Sementara si Gadis dengan mulut tertutup rapat dan alis mengerut mulai berjongkok dan memungut sampah-sampah di bawah bangku dan tempat duduknya. Saking kesalnya, diam-diam ia menggigit daging bagian dalam mulutnya.
Sejujurnya ia ingin melawan, tetapi ia tak punya senjata apa pun. Ucapannya saja tak akan cukup untuk menyakiti mereka. Parahnya, Annisa semakin pendiam.
Ketika ditanya mengapa, Annisa selalu menjawab dengan gelengan dan seulas senyum tipis. Si Gadis jelas melihat sesuatu di mata Annisa, dua buah matanya yang gelap itu menyimpan lelah luar biasa. Mata Annisa tampak redup dan kuyu.
Keyakinan si Gadis terhadap kata-kata Sang Motivator akhirnya kembali kuat. Semakin lama menghadapi olok-olok dan tatapan jijik dari para siswa lain di sekolahnya, lambat laun ia membiasakan diri. Menghadapinya dengan sikap masa bodoh yang ternyata mendekati kata ampuh.
Makin lama makin berkurang kata-kata tak pantas yang selalu mampir di telinganya, yang tersisa hanyalah tatapan meremehkan dan sinis. Namun, suatu hari dia mendapati Annisa menangis tersedu dengan seragam penuh cairan kotor dan bau tak sedap. Bagian lututnya berdarah, sehingga ia sedikit terseok-seok ketika berjalan ke arah kantor kepala sekolah.
Inilah Hidup, Katanya
Si Gadis ingin mengejar dan bertanya kenapa, namun langkahnya terhalang oleh siswa lain yang juga berdesakan penasaran dengan apa yang telah terjadi. Setelah berjuang melewati kerumunan siswa lain, akhirnya si Gadis sampai tepat di depan pintu yang hampir saja tertutup. Untungnya ia dapat menerobos masuk lalu menyandarkan punggungnya di daun pintu yang tertutup.
Ia tak peduli meski guru BK tadi menatapnya garang dengan mata melotot. Ia hanya memfokuskan pandangannya pada Annisa yang kini terbalut selembar handuk berwarna hijau tua dengan seorang nenek tua di sampingnya yang tampak menenangkan Annisa yang masih sesenggukan.
Di ruangan kepala sekolah yang luas itu terlihat kepala sekolah, guru BK, Annisa dan neneknya yang renta dan empat orang siswa dengan seragam yang sama seperti dirinya. Si Gadis ingat, mereka adalah teman sekelasnya yang beberapa kali pernah membuang sampah di bawah bangkunya, juga yang dua minggu lalu mengunggah video dirinya yang sedang memungut sampah-sampah itu ke media sosial dengan latar musik yang menyedihkan.
Lalu kini sepertinya mereka membuat masalah dengan Annisa sebagai objek. Di satu sisi ia begitu khawatir, di sisi lain ia merasa senang sebab akhirnya keempat orang ini dipanggil juga ke kantor kepala sekolah. Ia menantikan hukuman apa yang akan mereka terima.
Si Gadis mendengarkan Annisa menceritakan apa yang terjadi. Si Gadis menggigit bibirnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sebetulnya sudah berapa banyak yang Annisa terima sampai harus mengalami penghinaan sebesar ini? Apakah lebih banyak darinya? Si Gadis diam-diam mulai menyalahkan diri atas ketidakpekaan dirinya ketika Annisa selalu begitu pendiam.
Inilah Hidup, Katanya
Mengapa mereka tidak saling menguatkan ketika hal yang mereka terima sama menyedihkannya? Usai Annisa bercerita tentang kekerasan yang ia alami, kepala sekolah mulai menyampaikan pendapatnya layaknya berpidato. Si Gadis hampir geregetan menantikan hukuman apa yang akan keempat orang temannya terima.
“Jujur, sayang sekali kalian sampai mengalami ini dan saya turut prihatin dengan apa yang terjadi terhadap Annisa. Tadi mereka sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Saya berjanji akan lebih mengawasi murid-murid saya sehingga hal ini tidak akan terjadi lagi. Kita selesaikan dengan saling memaafkan ya.”
Si Gadis lantas syok mendengar kata-kata mutiara dari kepala sekolahnya. Kata-kata itu, obat yang selama ini ia pakai untuk menyembuhkan sakit hidupnya berbalik menjadi racun yang membuat emosinya mendidih. Si Gadis hanya tak paham mengapa kata-kata itulah yang dipakai untuk menyelesaikan permasalahan Annisa.
“Mereka bukan teman, Pak! Teman macam apa yang merundung temannya sendiri?” katanya dengan lantang.
Melihat Annisa yang kembali menangis, si Gadis tiba-tiba saja memiliki senjata berupa kuku yang memanjang di jarinya. Dengan beringas ia menerjang keempat siswa yang selama ini paling begitu mengganggu kehidupannya di sekolah.
Ia terus mencakar dan berteriak nyaring mengeluarkan kekesalannya yang telah lama ia pendam. Si Gadis tak peduli hukuman apa yang menantinya nanti, sebab ia merasa tak akan ada kesempatan lain selain hari ini. Begitulah hari buruk si Gadis dan Annisa.
Inilah Hidup, Katanya
Ia tak pernah tahu hukuman apa yang keempat orang itu dapatkan atas perilaku mereka terhadap Annisa dan dirinya, tapi yang jelas ia tahu dirinya kemudian diskors selama satu minggu dan ibunya terpaksa ia bawa ke sekolah untuk mendapat peringatan. Ibu tak marah setelah dengan tiga kalimat yang terpatah-patah si Gadis menjelaskan. Ibu hanya terlihat bekerja semakin keras.
Kini si Gadis paham, bahwa hidup yang ia jalani bersama orang-orang terdekatnya, tak pernah sesederhana kata-kata motivasi Sang Motivator. Persoalan yang menyeret dirinya juga Annisa memberikan luka permanen di kehidupan mereka, terlebih ketika pihak sekolah hanya mencari jalan aman dengan kalimat, inilah hidup.
Selanjutnya, ia pun tak lagi tahu tentang kabar dan keberadaan Annisa setelah tragedi hari buruk itu. Seberapa keras ia berusaha, Annisa tak pernah lagi nampak di hadapannya. Si Gadis tak pernah memiliki kesempatan untuk sekadar meminta maaf. Kursi kosong di sebelahnya tak pernah lagi terisi.
Sumber Gambar: flickr.com
0 Comments