Luka Inner Child Seorang Kakak
Tuturmama – Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara dengan luka inner child. Adikku usianya 19 tahun lebih muda dariku, cukup jauh memang selisih usia kami. Tak jarang juga banyak yang mengira dia putriku meski aku tak pernah menggubrisnya.
Pada awalnya aku merasa biasa saja dengan adik kecilku itu. Bagaimanapun, aku sudah lama menantikan kehadirannya. Tetapi semua berubah ketika usia adikku menginjak 5 tahun. Tepat di tahun ini adikku sudah berusia hampir 6 tahun, perasaan itu muncul sejak setahun yang lalu hingga hari ini. Aku mulai cemburu padanya.
Sejak kelahirannya, dia mendapatkan kasih sayang melimpah dari ayah karena beliau sangat memahami bagaimana perangai seorang anak. Ayah cukup sabar bahkan sangat sabar ketika menghadapi kelakuan adikku termasuk ketika dia tantrum.
Aku pun mulai membandingkan kondisiku saat seusianya. Aku yang kala itu berada di bawah pengasuhan nenek sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang. Nenekku adalah sosok yang cukup menakutkan dari sudut pandang anak kecil.
Takur pada Nenek
Tak seperti anak-anak lain yang begitu dekat dengan neneknya, aku justru ingin menjauh dari nenek. Ia sering memarahiku, tak boleh kesana-kemari, dan sebagainya. Nenek benar-benar mengatur hidupku layaknya tuan putri dan tanpa sadar menciptakan luka inner child dalam diriku.
Aku bahkan tidak pernah merasakan asyiknya main hujan-hujanan, asyiknya mandi lumpur, terjatuh dari tumpukan pasir lalu tertawa. Hanya cukup bersekolah dan selebihnya dia tidak peduli, yang jelas aku harus selalu di rumah.
Aku merasa sedikit bebas ketika memasuki SMA. Berhubung sekolahku jauh dari rumah, orangtua menyarankanku untuk tinggal di kost yang lokasinya tidak jauh dari sekolah. Oh iya, kala itu orangtuaku sibuk bekerja sehingga mereka menitipkan aku kecil kepada nenek.
Awalnya aku mengira tinggal di kost adalah pilihan buruk karena aku tipe orang yang kurang bisa bersosialisasi. Nyatanya, hari pertama ngekost, sepulang dari kegiatan pramuka khusus peserta didik baru aku justru bisa tidur nyenyak tanpa terbangun.
Tidak ada nenek di sana, tidak ada yang memarahiku bahkan bisa melakukan apa saja yang kumau. Aku senang sekali dan berpikir harus lanjut kuliah ke luar kota agar bisa jauh darinya, luka inner child dalam diri ini sedikit membaik.
Setelah Kelulusan
Setelah berhasil lolos di salah satu universitas negeri di Kota Malang, aku menikmati hidup baruku yang benar-benar bebas dan sudah tidak peduli pada nenekku. Terkadang jika mengingat bagaimana dia memperlakukanku, aku sangat membencinya.
Lalu nenekku meninggal tepat saat aku sedang ujian semester dan ayah pun menyarankanku untuk fokus ujian. Berselang satu tahun, ibu hamil dan menjelang akhir tahun 2016 adikku lahir, aku senang sekali tentunya. Tidak ada nenek dan aku kini menjadi kakak.
Aku lulus dengan baik meski terlambat setahun dari seharusnya. Setelahnya aku sibuk mencari lowongan namun sering gagal. Kalaupun ada yang cocok, sering sekali tak bertahan lama.
Melihat Luka Inner Child di Kampung Halaman
Aku pun memutuskan pulang ke rumah dan mencari pekerjaan sampingan di sana. Dengan usia yang terpaut cukup jauh dari adik dan rasa frustasi karena belum mendapatkan pekerjaan, emosiku menjadi mudah terpancing.
Adikku sering merengek ingin main air ketika hujan, tentu saja aku melarangnya karena dia mudah pilek. Tapi ayah justru mengizinkannya dengan catatan tidak boleh terlalu lama. Aku mengawasi adikku agar tidak ke jalan raya depan rumah kami.
Sekilas, terlintas di benakku untuk main air juga tapi aku langsung tersadar bahwa ini bukan masaku untuk melakukannya. Aku mengamati adik kecilku sambil bergumam, “Aku juga ingin seperti itu, seharusnya aku dulu seperti dia.”
Tidak hanya itu, aku juga iri pada adik kecilku sendiri karena dia dengan mudahnya meminta mainan baru, tak peduli sudah berapa banyak mainan rusak karenanya. Dia bisa bebas mengemukakan keinginan, berbeda denganku yang selalu setengah mati ketika masih bersama nenek.
Tak jarang aku sengaja melampiaskan emosi ketika dia menangis karena tidak mau menurutiku. Entah mengapa, suara tangisannya mengembalikan ingatan ini pada versi kecilku ketika mendapat omelan nenek.
Tentang Luka Inner Child
Rasanya sudah benar-benar gila, aku tau ini tidak boleh karena adikku bisa saja mengalami trauma yang sama ketika dewasa nanti. Aku tidak ingin dia sepertiku yang harus terus berusaha menghentikan trauma ini meski sering gagal.
Aku mulai searching tentang segala hal yang berhubungan dengan trauma masa kecil. Hingga akhirnya menemukan satu istilah, yakni luka inner child.
Di salah satu situs yang kubaca, dijelaskan bahwa luka inner child merupakan bagian dari dalam diri setiap orang dan menyimpan banyak memori kenangan. Entah itu membahagiakan atau tidak dan luka inner child akan mempengaruhi kepribadian seseorang hingga dewasa.
Setiap tanda-tanda inner child terluka yang dijabarkan, aku cocokkan dengan diriku dan semuanya sesuai. Aku masih tak percaya tapi di satu sisi aku tak bisa menampiknya.
Di akhir penjelasan, si penulis menyarankan untuk segera berdamai agar inner child yang sebelumnya terluka bisa sembuh. Tentu saja agar tidak mempengaruhi kehidupan pribadi maupun orang-orang di sekitar kita.
Berbagai saran yang ada sudah kucoba, tapi lagi-lagi emosiku tak tertahan dan kenangan buruk itu muncul begitu saja. Aku juga sering menangis diam-diam jika mengingat bagaimana aku sudah lelah dengan diri ini.
Tak ada yang tahu dan tak ada yang bisa kuberi tahu. Aku hanya berharap inner child ini bisa kuatasi meski harus perlahan. Selain itu aku juga ingin tak terpengaruh jika suatu saat kenangan buruk masa kecilku mencuat lagi. Aku hanya ingin tenang dengan keadaan.
Saat ini aku tengah menantikan proyek pekerjaan. Meski tak tahu pasti kapan dan bagaimana, sembari berada jauh dari rumah aku akan berusaha berdamai dengan luka inner child dalam diriku ini. Aku tak ingin adikku merasakan apa yang kurasakan, jadi harus kuhentikan sekarang.
Mohon doanya, ya, Ma. Aku benar-benar ingin sembuh dan menikmati kehidupan seperti orang-orang.
Sumber Gambar: Instagram
0 Comments