Mandi dan Negosiasi Anak Tingkat Raja
Tuturmama – Sebulan belakangan ini anak sulung kami Ammar, susaaah sekali diajak mandi. Usianya jelang 4 tahun. Usia balita, — yang bagi kami, usia itu sudah cukup untuk paham bagaimana bau badannya, kotor bajunya dan sadar betapa cemong penampilannya jika belum mandi. Barangkali menurutnya tidak demikian. Ammar tetap pede keluar rumah, main, ke masjid meski belum mandi seharian. Mungkin dia memaknai prinsip, dont judge a book by the cover.
Kebetulan sayalah praktisi parenting di rumah a.k.a tukang momong dan asuh, bisa disebut juga juru memandikan anak. Abahnya selaku kepala sekolah (jika rumah kami layak disebut sebagai institusi pendidikan pertama dan utama) lebih banyak memonitor, “Anak-anak belum mandi ya?”
atau mengevaluasi,
“Bajumu kotor banget nak, ”
atau memberikan titah,
“Mandiin anak-anak Mi!”
Kecuali di sikon tertentu barulah Abah turun tangan. Misalnya saya super rempong (jarang terjadi menurut kacamata Abah) atau saya sakit (duh, lebih jarang lagi, Mama itu wajib sehat 24 jam sehari, 7 hari seminggu).
Jadilah sebulan ini rumah kami penuh teriakan di pagi hari. Tepatnya Ammar yang berteriak, Mamanya mentok pasang muka angker sebelum kelepasan cubit lengannya. Berbeda dengan Hira, adiknya Ammar yang lebih kooperatif dalam urusan mandi ini. Tinggal buka kran di tempat wudhu dan pasang ember mandinya, Hira dengan sukarela mendekat dan memulai paginya dengan mandi.
Baca Juga : Mamah, Jangan Terlalu Banyak Menyuruh dan Melarang Anak
Saya sampai harus memilih kata yang pas untuk mengajaknya mandi,
“Ammar, mau mandi enggak?”
“Enggak, Ammar tidak mau mandi.” Jawabnya singkat, padat, jelas.
Oke, ganti pertanyaan esoknya.
“Ammar, mau mandi sekarang atau nanti?”
“Nanti….” yang berujung tidak mandi.
Baiklah, mungkin nunggu Ammar selesai beraktivitas.
“Habis makan, Ammar mandi ya?”
“Yaaa,” jawabnya semangat 45’.
Tak lama kemudian,
“Ammar sudah selesai makannya. Ayo mandi.”
“Tapi Ammar lagi main ini.” Jawabnya tunjuk ini itu.
“Tadi kan Ammar sudah bilang sendiri kalo selesai makan mau mandi.” Mamanya mengingatkan.
“Tapi kan Ammar lagi main ini.”
“Ammar, tidak boleh ingkar janji.” Mamanya mulai bicara sesuatu yang abstrak.
“Ammar lagi main ini kok.”
“Mandinya habis main ini?”
“He-eh….” usai jawaban ini negosiasi berulang lagi dari depan.
Baca Juga : Wahai, Ayah.. Bermainlah Bersama Anakmu
Kadang lain lagi daya tawarnya,
“Ammar, ayo mandi.”
“…tapi habis mandi Ammar beli es krim ya?”.
“Tidak, kita kemarin sudah beli es krim. “
“…tapi beli es krim.”
“Tidak mas. Tidak setiap hari kita beli es krim.”
“Tapi Ammar mau beli es krim!” Suaranya mulai meninggi. Mamanya kembali ke titik masalah pertama.
“Ammar mau mandi?”
“…tapi habis itu beli es krim?” Matanya mengerjap penuh harap.
“Tidak mas…”
“Ammar mau es krim!”
Baca Juga : Jangan Cuma Mikir Gengsi, Perhatikan Juga Dampak Terlalu Dini Menyekolahkan Anak
Deadlock.
….
Satu jam kemudian
” Ammar, mandi ya”
“Tapi beli es krim?”
“Es dung-dung aja ya.” Muka Mamanya memelas.
Kadang saking malasnya mengulang obrolan negoisasi alot soal mandi, saya bertindak buruk. Mengambil momentum saat Ammar buang air kecil, lantas pura-pura tidak sengaja menyiramkan air ke baju Ammar.
“Yaaah, basah deh. Kita mandi sekalian ya.” Saya memasang wajah prihatin dengan kondisi bajunya. Ammar yang polos tidak bisa berbuat banyak dan menurut. Siapa sih yang nyaman pakai baju basah?
Tapi rekayasa ini akhirnya ketahuan. Ammar mulai bisa menebak arah guyuran ‘tak sengaja’ Mamanya. Sebelum saya membersihkannya usai pipis, Ammar menggulung bajunya tinggi-tinggi dan berkata,
Baca Juga : Tempat Favorit Saya Buat Menitipkan Anak
“Guyurnya pelan-pelan ya.”
Oke, akhirnya saya menurutinya.
Lain waktu, jika sudah kepepet siang, mau pergi, dan sebagainya, saya tetap ‘tidak sengaja’ mengguyur hingga baju. Akibatnya Ammar marah. Dia tetap tidak mau mandi. Keluar kamar mandi dengan baju basah (yang menyebabkan lantai basah, kasur basah, fhiuuh) dan menolak mandi.
“Ganti bajunya ya basah,” bujuk saya.
“Tapi tidak mau mandi!” Dia cuma mau ganti baju, Mama.
Sampai saat dia HARUS mandi karena kotor, kena pipis dan semacamnya, dan dia ngotot tidak mau mandi, saya kelepasan marah. Tanpa banyak kata, saya memaksanya mandi, mengunci pintu kamar mandi dan mengguyurkan air ke seluruh badannya. Ammar berteriak sepanjang prosesi dimandikan itu. Saya tutup telinga. Dia menangis sambil terus berkata,
“Ammar tidak mau mandi!”
Baca Juga : Wahai Ibu, Berdamailah dengan Dirimu
Ya ampun, saya sebal dengan kata-kata itu. Juga sebal sekali dengan sikap saya saat itu. Nyatanya sikap buruk saya itu justru membuatnya makin susah diajak mandi. Ibu macam apa ini, bisa-bisa ditegur pakar parenting karena tidak bisa menahan marah pada anak. Atau dilaporkan pada kak Seto karena melakukan tindak pemaksaan pada anak.
Saya kira banyak Mama yang pernah berada di posisi saya. Tidak tahu harus berbuat apa dan satu dua kali melakukan sikap yang salah terhadap anak. Slogan bahwa Mama harus memiliki kesabaran seperti nabi, hati secantik peri dan perilaku selembut tepung terigu nyatanya susah sekali diterapkan.
Oh My, bahkan karena hal sepele anak susah diajak mandi begini saya bisa menangis sesenggukan mengadukan sikap Ammar kecil yang belum berdosa ini pada Abahnya. Bagaimanalah tidak menangis, menahan marah dan emosi pada anak kesayangan itu kadang begitu sesak. Melihatnya menangis, Mama mana yang tidak ikut sedih (dan sebal)?
Maka suatu keajaiban jika mendadak Ammar berkata,
“Mi, Ammar mau mandi…”
Berbungalah hati Mamanya. Jika muat, akan Mama tanam hati ini dengan sekebun mawar kebahagian dan setetes embun keharuan.
Ada dua hal yang saya ubah demi menciptakan ketertiban umum soal mandi di rumah kami.
Pertama, Ammar boleh ikut saya pergi keluar (meski cuma ke pasar, ke mang sayur ataupun ke gang depan) asalkan ia mandi. Jika tidak, saya menegaskan ia tidak ikut pergi. Sekali saya benar-benar tidak mengajaknya, besoknya ia terpaksa mau mandi asalkan ikut Mamanya.
Baca Juga : Istri yang Bahagia adalah Kunci Keluarga Bahagia
Kedua, saya mengubah pertanyaan.
“Ammar mau mandi sendiri atau mandi sama Umi?”
“Mandi sendiri!” Serunya bersemangat.
Oke, saya was-was di tahap ini. Di satu sisi saya senang kemandiriannya bertambah, di sisi lain saya khawatir. Soal kebersihan mandinya, soal gosok giginya, soal mata kemasukan sabun. Jika saya ‘mengintipnya’ mandi, serta merta ia akan protes dan mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Duh, ini makin membuat saya khawatir dia akan terkunci di dalam. Ternyata selama ini Ammar sedang membangun dirinya. Maunya dianggap sudah besar dan mampu melakukan hal hal seperti orang dewasa lainnya. Lelaki kecil dengan ego besar ini sedang tumbuh.
Jadi, saya memutuskan bersikap lebih selow soal mandinya. Memilih percaya pada kemampuan mandinya dan memujinya usai mandi sendiri. Tampaknya Ammar menyukai tahap ini. Ia keluar kamar mandi sambil pamer giginya yang bersih (menurutnya), rambutnya yang wangi shampo, badannya yang wangi sabun bayi. Dan tentu saja memeluk Mamanya usai dipuji bisa mandi sendiri. Cepat sekali kamu besar Nak.
Bersabarlah, bersabarlah Mama. Engkau akan memetik hasilnya dari kesabaran dan upayanya mengasuh anak-anak. Seperti pagi ini, saat Ammar menunjukkan spons cuci piring sebagai spons mandinya. Lengkap dengan sabun cuci piring warna hijau, bau jeruk dan kental yang ia pamerkan sebagai alternatif sabun barunya. Bersabarlah Mama, yang penting ia mandi!
Ditulis oleh: Yosi Prastiwi, baca tulisan lain dari Yosi disini.
0 Comments