Tuturmama – PRASANGKA SEORANG ISTRI
“Mas mau pergi lagi, ya?” tanyaku pada sosok yang sudah rapi itu.
Dia suamiku, Mas Ariel namanya, lebih muda dua tahun dariku. Aku memanggilnya dengan embel-embel ‘mas’ lantaran menghargai posisinya sebagai kepala keluarga. Kami menikah atas dasar cinta, bukan karena perjodohan ataupun lainnya, aku cukup senang dengan fakta itu.
Namun, ada apa dengannya belakangan ini?
“Hm, aku ada urusan. Kamu di rumah saja dan jangan kelayapan, kalau lapar makan gak usah tunggu aku. Paham, kan aku ngomong apa?”
Meski dia berkata demikian rasa curiga ini tak bisa memudar perlahan. Sikapnya menimbulkan prasangka buruk dalam diriku, tetapi untuk kali ini akan kubiarkan saja. Mungkin malam nanti akan ada hal yang mengejutkan bukan?
“Ya, Mas,” kataku lantas menunduk hendak meraih tangannya. Belum sempat aku mencium punggung tangan Mas Ariel layaknya istri pada umumnya, dia lebih dulu pergi.
“Bahkan salam pun sekarang kamu lupa, Mas,” kekehku menertawakan diri sendiri.
Sudah berapa lama, ya? Aku kira semua ini dimulai sejak empat tahun lalu atau bahkan sudah enam tahun yang lalu?
Terduduk lemas di depan pintu diriku kala mengingat betapa sakit dan berantakannya hati ini. Pernikahanku dan Mas Ariel terjadi tujuh tahun lalu, tepat ketika dia berusia dua puluh tahun sedangkan aku dua puluh dua. Kala itu aku merengek, karena dia sendiri yang menjanjikan pernikahan setelah aku mendapatkan gelar sarjana.
Baca Juga: Kenyataan Itu Bernama Naraya Indigara
“Waktu itu apakah aku kelihatan bodoh dan naif di matamu, Mas?” tanyaku pada foto pernikahan kami yang mulai kusam.
Awalnya hubungan pernikahan kami baik-baik saja. Tak ada yang salah. Kami menikah dan membeli rumah meski dengan bantuan orang tuaku. Mas Ariel yatim piatu sehingga saat kami menikah hanya membutuhkan restu dari orang tuaku saja.
Sebuah pernikahan sederhana digelar bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke-22 ku. Bahagia? Tentu saja. Tidak ada prasangka buruk sebelumnya.
Aku merasa bahwa hidup ini telah sempurna. Dalam benakku, pernikahan adalah sebuah akhir bahagia dalam suatu hubungan.
“Bodoh,” makiku pada diri sendiri.
Iya, aku benar-benar bodoh. Mana bisa aku mengatakan pernikahan sebagai akhir bahagia dari sebuah hubungan? Bukan akhir bahagia, justru pernikahan adalah awal mula kehidupan yang sesungguhnya. Di mana kesalahpahaman akan berujung pada hilangnya rasa kepercayaan.
Semakin mengetahui pelik kisah percintaan dalam rumah tangga, seseorang pasti akan ketakutan untuk sekadar memulainya. Wanita yang menemukan pasangan yang tepat akan berkata bahwa pernikahan suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku pun berpikir demikian, benar-benar seperti itu awalnya.
Mas Ariel adalah sosok laki-laki yang kompeten, bisa dipercaya dan sangat mencintaiku di tahun pertama pernikahan kami. Tahun kedua kami semakin bahagia dengan fakta bahwa aku mengandung anak pertama.
Semuanya kusiapkan, baju bayi dan perlengkapan lain mulai kami beli meski harus mencicil. Tapi, tepat saat usia kandunganku menginjak enam bulan, calon bayiku pergi. Aku keguguran karena memaksakan diri untuk menyelesaikan naskah yang terbengkalai.
Baca Juga: Hari-Hari setelah Akad
Mas Ariel murka, padahal aku pun sama terpuruknya, tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta maaf. Ya, aku mengakui bahwa penyebab kami kehilangan bayi empat tahun lalu adalah salahku, benar-benar karena kelalaianku. Tapi, haruskah dia membentak keras?
Tidak cukup dengan fakta itu, Mas Ariel juga mulai bersikap aneh sebulan setelah operasi kuret yang kujalani. Sikapnya mulai menimbulkan prasangka buruk.
“Kapan, ya?” kekehku sembari mengusap air mata yang mengalir deras.
Jika aku tak salah ingat ada sebuah kejadian di malam itu, empat tahun lalu. Hujan deras di desa selalu saja begini. Malam ini aku tertidur lebih awal karena rasa lelah, entah sudah berapa hari aku tak makan dengan baik.
Tubuhku benar-benar lelah, bahkan saat Mas Ariel pulang terkadang aku tak sempat membukakan pintu untuknya.
“Apa Mas Ariel sudah pulang?” tanyaku dengan suara parau.
Kuambil karet gelang lantas menyanggul asal rambutku. Semenjak kehilangan anakku sebulan lalu entah mengapa bernafas saja rasanya aku malas. Dada ini terasa begitu sakit kala mengingat sifat Mas Ariel yang berubah drastis.
“Ya, Sayang.”
Deg!
Tanganku yang sudah memegang gagang pintu seketika membeku. Sayang? Ah, apakah karena sudah lama tak mengusap perutku dan memanggil anak kami, Mas Ariel jadi meracau begitu, ya?
“Maaf, Mas,” ucapku sambil menutup mulut menahan isakan agar tak dibentak lagi olehnya.
Kuurungkan niat untuk keluar kamar lantas kembali ke atas kasur untuk menarik selimut. Membiarkan rasa sakit ini menggerogoti hati. Salahku, ini semua benar-benar salahku. Mengapa aku berbuat sesuka hati? Kenapa aku bisa lupa kalau ada nyawa yang perlu kujaga? Mengapa?!
Baca Juga: Musik Kematian Nocturne No. 2 in E-Flat Major
“Hiks … hiks ….”
Tak ada yang bisa kulakukan. Kupikir dengan menunggu satu tahun maka keadaan bisa membaik. Dan sekarang sudah satu tahun berlalu. Meski belum juga mendapat kepercayaan untuk kembali mengandung tetapi aku sudah mulai membaik. Melupakan kejadian itu jelas tak akan bisa, aku hanya bisa mengikhlaskan kepergian calon buah hatiku.
Malam ini, aku bersiap untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami. Sudah kusiapkan segalanya. Mendengar suara pintu yang terbuka aku lekas berbalik, tetapi wajah kusut Mas Ariel membuatku bertanya-tanya. Dia menepis tanganku, lagi-lagi begini.
Bahkan ketika dia melirik ke arah meja dengan taburan kelopak mawar dan berbagai hidangan makanan, hanya decihan yang kudengar. Sakit, ini benar-benar menyakitkan. Mas Ariel membaca tulisan yang tertempel di dinding, namun dia melenggang pergi begitu saja.
Ya, Tuhan, mengapa suamiku bertingkah demikian?
“Buang aja, gak guna!” serunya sebelum membanting pintu kamar kami.
Ctar!
Sambaran petir terdengar seolah alam sedang mendramatisir keadaan saat ini. Aku salah apa, Tuhan? Mengapa menyesakkan dada sekali hal ini. Sampai kapan bisa kutahan seorang diri?
Baca Juga: Bahtera yang Terbelah
“Harus apa aku, Mas?”
Apakah ini salah satu caramu untuk menghukum istri bodoh yang tak pandai menjaga kandungannya? Mas, sampai kapan kita harus terjebak dalam perasaan tak nyaman ini? Kamu terus menimbulkan prasangka dalam benakku.
Malam ulang tahun pernikahan kami, aku menghabiskannya dengan isakan pelan. Lantas keesokan harinya Mas Ariel menjadi dirinya yang dulu. Dia bersikap seolah-olah semalam tak terjadi apa-apa.
Dia mengecup keningku hingga memelukku di malam hari. Namun, kini aku baru menyadari sebuah fakta bahwa dia, benar-benar tak pernah mengatakan ‘selamat ulang tahun pernikahan, Sayang.’ padaku.
Sebetulnya apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Haruskah aku mencari tahu? Prasangka buruk tentangmu terus hinggap dalam pikiranku.
Bagaimana jika prasangka ini nyata? Bagaimana jika sebenarnya kamu tidak pernah mencintaiku dan memiliki wanita lain di luar sana?
Sumber Gambar: pexels.com
Discussion about this post