Refleksi Kemerdekaan Indonesia yang Seperti Kisah Cinderella
Tuturmama – Jika kita melakukan refleksi kemerdekaan Indonesia sekali lagi, terlihat jelas bahwa perayaan hari kemerdekaan ke-77 kali ini terasa seolah berbeda dengan tahun sebelumnya. Tak ada lagi kekangan ketakutan yang bersumber dari virus. Namun jika ditelisik lebih jauh, kemerdekaan kita tahun ini sebenarnya masih sama saja.
Melihat kemerdekaan secara kasat mata, tahun ini memang serba meriah. Ajang lomba sana-sini terselenggara beriring lagu perjuangan. Beagam event malam kemerdekaan, dangdutan, orkesan, pengajian, dan berbagai macam perayaan khas Indonesia.
Seluruh warga negara mengelu-elukan kemerdekaannya seolah tepat pada 17 Agustus itu, jiwa mereka terbebas dari segala kekangan. Apakah benar demikian?
Tidakkah jika kita renungkan kembali, perayaan kemerdekaan 17 Agustus hanyalah sebatas euforia belaka? Setelah lewat malam sakral 17 Agustus maka segalanya kembali seperti semula. Seperti kisah Cinderella yang berpesta hanya sampai pukul 12 malam.
Sayang sekali, berbeda dengan Cinderella yang tak lama kemudian berbahagia karena pangeran datang menjemputnya. Mencari ke seluruh penjuru negeri demi mendapatkan sebelah sepatu kaca agar sempurna menjadi sepasang.
Negara Indonesia bahkan sampai di tahun ke-77 ini tak kunjung muncul tanda sang pangeran akan datang menjemput. Sudah 77 malam, negara Indonesia mengulang momen pukul 12 malam ala Cinderella, namun tak ada yang kunjung berubah.
Refleksi Kemerdekaan Indonesia: Kehidupan Berbeda antara Pangeran dan Cinderella
Mungkin wajar jika kita melihat dalam dongeng ada ketimpangan yang jauh berbeda antara rakyat jelata dan kerajaan. Lalu bagaimana jadinya jika ketimpangan dalam dongeng itu justru ada dalam dunia nyata, khususnya di negara Indonesia?
Come on! Indonesia bukan negara dongeng, guys! Indonesia juga bukan negara kerajaan yang memiliki batas tebal antara rakyat dan keluarga raja. Sebagaimana telah disepakati sejak 77 tahun yang lalu, Indonesia adalah negara kesatuan yang memegang teguh demokrasi.
Sebagaimana semboyan kita yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika, setiap warga negara Indonesia sudah selayaknya hidup dalam kesamaan. Berbeda-beda tetapi satu jua, satu rasa, satu perjuangan, satu kehidupan, dan satu nasib.
Jika merujuk pada cita-cita besar kemerdekaan, selayaknya setiap warga negara Indonesia bisa hidup dalam kesetaraan. Tidak ada kalangan yang jauh lebih kaya dan yang jauh lebih miskin karena semuanya mendapat penghidupan yang sama.
Data Ketimpangan Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sayang sekali realita yang terjadi tidak merepresentasikan kesatuan dan persatuan yang seharusnya menjadi landasan negara ini. Data International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) menunjukkan ketimpangan bak raja dan rakyat jelata terus terjadi di Indonesia.
Laporan terbaru tahun 2022 menunjukkan bahwa 50 persen populasi penduduk miskin di Indonesia hanya memiliki pendapatan Rp17,1 juta per tahun atau 1,4 juta per bulan. Sementara itu 10 persen kelompok penduduk kaya memperoleh penghasilan rata-rata 19 kali lebih banyak dari penduduk miskin yakni sekitar Rp331,6 juta per tahun atau Rp27,5 juta per bulan.
Sungguh angka yang fantastis untuk refleksi kemerdekaan Indonesia yang ke-77 ini, bukan?
Lebih fantastis lagi, 1 persen populasi kelompok penduduk super kaya di Indonesia memperoleh 73 kali lipat pendapatan lebih banyak ketimbang penduduk miskin. Yakni dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp1,2 miliar per tahun atau Rp105,1 juta per bulannya.
Tak hanya itu, ritual kemerdekaan Indonesia ala Cinderella yang sudah berlangsung selama 77 kali ini juga memberikan efek jangka panjang. Indonesia mengalami ketimpangan pendapatan jangka panjang yang terus tersambung setiap tahunnya.
Selama 100 tahun atau periode 1900-2021, 10 persen orang kaya teratas di Indonesia menguasai 40-50 persen dari total pendapatan nasional. Sementara pada rentang waktu yang sama, 50 persen masyarakat terbawah hanya menguasai 12-18 persen dari total pendapatan nasional.
Apakah ini yang disebut merdeka?
Cinta Buta Kemerdekaan Indonesia
Aneka jenis perayaan menyambut kemerdekaan selalu masyarakat lakukan setiap tahunnya. Tak pernah absen kecuali ada yang ‘sangat memaksa’ seperti pandemi Covid-19 lalu. Seolah kita telah buta tentang apa itu kemerdekaan yang sesungguhnya.
Masyarakat Indonesia bertepuk tangan, bergembira, tertawa, dan memberikan segenap cinta tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka cintai. Apakah negara? Apakah diri sendiri? Ataukah kata merdeka itu sendiri?
Pada akhirnya tidak satupun dari pilihan itu yang benar-benar menjadi merdeka. Segalanya masih sama saja setelah euforia merah-putih beralu pada puncak malam kemerdekaan 17 Agustus.
Para pedagang kembali ke pasar, menjajakan dagangan yang semakin lama semakin tipis laba. Para petani kembali ke sawah, menggarap sawah sepenuh hati tanpa tahu kerugian mengintip akibat ulah segelintir orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Merayakan Kemerdekaan RI dengan Cara Memerdekakan Diri Sendiri
Begitu pula dengan para perempuan yang kembali pada beban ganda yang mereka pikul dari tahun ke tahun. Menanggung beban stigma masyarakat yang masih membelenggu, jauh dari kemerdekaan berpikir soal keseimbangan peran.
Tidak ada yang berubah setelah perayaan malam kemerdekaan digelar besar-besaran. Sementara sang Cinderella telah pergi ke istana bersama pangeran, Indonesia tak kunjung menemukan pangerannya.
Mungkin juga sebenarnya, Indonesia hanya ikut berpesta tanpa memiliki sepatu kaca yang pas untuk menjemput kemerdekaannya. Siapa yang tau? Kita hanya bisa menemukan jawabannya dengan refleksi kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.
Sumber Gambar: freepik.com
*Penulis: Untsa Islami Qunana (Pemenang Lomba Menulis Tema Keluarga dan Kemerdekaan)
0 Comments