Rumah yang Tak Lagi Ramah

Published by Sundari Nur Apriliani on

Tuturmama Katanya jika ingin tenang pulanglah ke rumah. Tapi, Bu, kini rumah yang dimaksud tak lagi ramah bagiku. Tak ada canda ataupun tawa bahkan celoteh ria. Sepanjang pagi aku terbangun hanya sunyi yang menyapa.

Ke mana semua orang? Pikirku kala keluar dari kamar. Aku bersiap untuk bekerja, tidak lupa sarapan untuk sekadar menambah tenaga agar tidak tumbang. Ternyata begini rasanya menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah untuk diri dan adikku.

Namun, Bu, kini makanan semua terasa hambar. Aku tidak nafsu untuk makan sebenarnya. Bekerja di tempatmu juga sedikit memuakkan, mengetahui setiap wajah asli orang-orang yang berada di sekelilingmu. Aku pun pernah mendengar sedikit kabar burung yang membuatku terkekeh. Ah, mana mungkin pikirku.

Namun, yang lebih memuakkan adalah pengakuan Bapak. Aku ingat betul, belum lama ini, Bu. Bapak mengumpulkan kita semua untuk membicarakan sesuatu. Di rumah ini. Kabar burung yang kutertawakan saat itu tak lagi menjadi kabar burung.

“Bapak izin untuk menikah lagi. Sudah ada seorang perempuan yang Bapak senangi. Bapak meminta restu kalian.” Tetiba suasana hening. Semua diam. Kakakku Rio, Al adikku, dan aku.

Deg! Hancur sudah hatiku, Bu. Kau pun begitu kan? Bagaimana tidak. Hati seorang anak perempuan satu-satunya dipatahkan oleh sosok laki-laki pertama yang dicintainya, pahlawan, panutannya sebagai sosok laki-laki setia yang cukup dengan satu wanita kini telah mencintai wanita lain. Semua hancur.

“Bapak sudah memikirkan ini dengan matang, nyatanya Bapak butuh seseorang untuk merawat Bapak, butuh teman untuk berbagi cerita.” Lanjutnya.

Kakakku dan adikku mengangguk merestui meskipun tak berbicara satu patah kata pun. Aku tidak akan pernah bisa merestui hal itu. Berbicara pun percuma karena aku sudah kalah jumlah. Aku menahan tangis. Berdiri dan memilih pergi mengasingkan diri di kamar, melepaskan tangis yang ditahan.

Tidak lama dari itu Kakak masuk ke kamarku.

Baca Juga: Cerpen Keluarga: Telur Dadar Adinda Part 1

“Bisa kita bicara?” Ucapnya.

Aku pun duduk dan melipat kakiku dengan wajah sembap dan sesenggukan.

“Aa tahu kamu tidak setuju. Tapi kita juga harus mikirin Bapak. Kita gak bisa 24 jam memperhatikan Bapak. Tidak bisa juga jadi tempat cerita leluasa Bapak-”

“Kenapa tidak bisa? Aku bisa mendengarkan cerita Bapak kalau Bapak mau. Tapi selama ini Bapak saja tidak pernah terbuka sama kita, gimana kita mau paham A.” Ucapku memotong omongannya.

“Bukan seperti itu, De. Ada hal yang tidak bisa kita pahami. Bagaimana dengan kebutuhan biologis Bapak? Itu di luar kendali kita. Kalau kita larang, Aa takut ada hal yang tidak diinginkan. Bagaimana kalau Bapak bermain di belakang? Itu lebih berbahaya.”

Aku terdiam mendengarkan perkataan Kakak. Benar, aku tidak berpikir ke sana. Tetapi harus secepat inikah? Ibu saja pergi belum genap 100 hari. Kenapa bisa dengan mudahnya mencari pengganti Ibu.

“Tapi Ibu pergi juga belum lama A.” Lirihku sambil menatap wajahnya. Kakak terdiam dan mengusap kepalaku.

“Aa tahu ini berat. Aa mengerti. Tapi kita juga harus mengerti posisi Bapak.”

Aku mengerutkan alis. Tidak setuju dengan pernyataan itu. Bagaimana tidak, ia tahu ini berat tetapi minta mengerti keadaan Bapak. Bagaimana dengan kami anak-anaknya. Bapak tidak memikirkan kami kah?

Ada aku dan Al yang masih kuliah, masih tanggung jawab Bapak. Kalau Bapak menikah lagi tidak menutup kemungkinan Bapak akan pergi jauh, maksudnya lupa dengan anak-anaknya. Setelah Ibu, apa aku juga harus kehilangan Bapak? Aku belum siap.

Baca Juga: Cerpen Keluarga: Telur Dadar Adinda Part 2

Begitulah, Bu. Semenjak kepergianmu rumah tak lagi ramah. Kami lebih senang di kamar masing-masing meskipun kadang berkumpul sebentar untuk sekadar nonton televisi.

Namun, setelah pengakuan Bapak itu, Bu. Kami semakin asing. Berkumpul untuk sekadar nonton televisi saja tak lagi kita lakukan. Bapak lebih senang bermain keluar sampai larut malam. Kakak sibuk bekerja.

Al juga lebih sering keluar rumah untuk berkumpul bersama teman-temannya. Sedangkan aku, Bu, yang paling menerima semua kesunyian rumah ini.

Bu, kepergianmu belum bisa kurelakan. Maaf.

Semakin hari aku semakin tak mengenali Bapakku. Bapak seperti seorang remaja puber yang sedang kasmaran. Dia tidak pernah meminta izin lagi ketika keluar rumah. Tidak mengabari jika bepergian. Kita yang semakin asing ini menjadi tak peduli satu sama lain.

Suatu ketika aku memperhatikan guru-guru sedang bergosip ria. Kebiasaan mereka ketika jam pulang sekolah, berbisik-bisik sambil tertawa terbahak-bahak.

Lihatlah, guru yang dibanggakan murid-murid sekolah aslinya seperti ini. Bermuka dua dan tidak punya wibawa. Pantas saja dulu Ibu tidak mau ikut kumpulan, kumpulannya saja seperti ini.

Aku tahu Ibu selalu menjadi bahan gosip mereka. Ibu selalu diasingkan. Sampai Ibu bercerita ketika masa pandemi yang mana KBM dilakukan secara daring dan luring Ibu tidak tahu hari itu ada KBM luring. Setelah aku telusuri ternyata Ibu tidak pernah dikabari ketika kegiatan luring dan itu sengaja mereka lakukan agar nama Ibu menjadi jelek.

Betapa sakit hatinya aku saat itu. Aku tahu Ibuku gaptek, tapi tidak seperti itu memperlakukan orang tua. Dari situ aku bertekad untuk menunjukkan bahwa Ibu adalah orang luar biasa.

Gosip itu kini mulai menyebut-nyebut namaku. Merasa namaku disebut aku pun mengalihkan pandangan yang semula ke laptop menjadi ke arah mereka. Mereka langsung terdiam.

Benar, mereka sedang membicarakanku. Batinku.

Baca Juga: Seharusnya Dia Melaksanakan Kewajiban Suami terhadap Istri Siri

Tidak kupedulikan, aku pun lanjut merekap nilai murid-muridku. Sepulang mengajar aku mampir ke rumah Bibi. Bibi langsung menghampiriku dengan wajah cemas dan berbisik.

“De, Bapak benar mau nikah?”

Aku tersentak. Memandang wajah bibi dengan kaget. Mulutku ternganga tak bisa berkata-kata. Pasalnya, aku tidak tahu kabar itu. Aku belum merestui hubungan itu.

Bibi dan saudara-saudaraku terus memborbardirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan lemas, “Tidak tahu, Bi.”

Semalaman aku tak keluar dari kamar. Menangis sesenggukan. Tidak ada yang peduli sebab rumah ini memang tak berpenghuni. Rumah ini sudah tak lagi ramah, orang-orang tak mau menempati kesunyian ini.

Tak mau menempati kecanggungan dan keasingan ini. Bu, aku juga ingin hengkang dari sini. Apa boleh aku ikut bersamamu? Sepertinya di sana lebih tenang ya, Bu.

Ketika sedang berkumpul bersama Al yang bermain gitar dan menghisap rokok, aku mengutarakan keinginanku.

“Al, sepertinya teteh mau ngekos aja di sekitaran kampus.”

Dia menghentikan petikan gitarnya dan memandang wajahku dengan melas.

“Terus, Al gimana?”

Aku ingin egois. Tetapi aku tidak tega. Aku tahu meskipun terlihat berantakan, Al anak yang baik namun tertutup. Bahkan kepada kami keluarganya. Dia sering memendam masalahnya sendirian tak mau membebani orang lain.

Mendengar hal itu aku kembali mengurungkan niatku. Toh, di sini juga ada tanggung jawab lain, yaitu sekolah. Iya, aku masih harus mengajar.

Baca Juga: Puisi: Kisah-Kisah Rumah

Kakak kemudian pulang dan langsung ikut berkumpul bersama kami. Aku pun menceritakan tentang kabar yang kudengar dari Bibi. Dari situ ketika bapak pulang kami langsung ajak diskusi dan di sini kami tidak lagi mengenali Bapak.

“Iya, bulan depan tanggal 14 Juni. Bapak gak akan minta izin karena udah waktu itu. Ini mah Bapak ngasih tahu.” Ucapnya sambil berlalu pergi.

Empat belas Juni? Haruskah di tanggal itu? Kenapa harus menghancurkan hatiku berkeping-keping seperti ini. Empat belas Juni adalah hari di mana Ibu berpulang. Haruskah menikah di saat satu tahunnya Ibu pergi?

Haha! Kini aku benar-benar tersesat, Bu. Aku tak punya tempat pulang. Rumahku kini sudah hancur berantakan bukan lagi asing.

Pernikahan bapak diselenggarakan dengan mewah sesuai permintaan wanita itu. Kami tidak pernah tahu seperti apa wanita itu karena tidak pernah sekali pun datang ke rumah, diperkenalkan kepada kami. Kami hanya tahu bahwa wanita itu juga seorang single parent dengan seorang anak yang juga sudah dewasa, bekerja di luar kota. Hanya sebatas itu.

Dan perkiraanku benar. Bapak, lupa pada kami, Bu. Aku terus mengajar di sekolahmu untuk menghidupiku dan Al. Di tengah tugas akhir yang harus segera kuselesaikan, rumah harus ditata ulang. Pondasinya kini tak lagi kokoh sebab Ibu dan Bapak tak lagi di sini.

Aku masih mencari rumah, Bu. Mencari rumah untukku pulang. Rumah yang ramah. Rumah yang ini sudah tak lagi ramah.

Maaf, tak bisa menjaganya dengan baik.

Aku, pamit.

Sumber Gambar: freepik.com


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

dhankasri hindisextube.net hot bhabi naked rebecca linares videos apacams.com www tamilsexvidoes lamalink sexindiantube.net chudi vidio sex mns indianpornsluts.com hd xnxxx shaving pussy indianbesttubeclips.com english blue sex video
savita bhabhi xvideos indianxtubes.com xxx bombay live adult tv desitubeporn.com mobikama telugu chines sex video indianpornsource.com video sex blue film sex chatroom indianpornmms.net old man xnxx aishwarya rai xxx videos bananocams.com sex hd
you tube xxx desixxxv.net xossip english stories sanchita shetty pakistaniporns.com mom sex video cfnm video greatxxxtube.com sex marathi videos mmm xxx indianpornv.com sexxxsex xvideosindia indianhardcoreporn.com ajmer sex video