Runtuhnya Rumah Tangga Impian Part 1
Tuturmama Runtuhnya Rumah Tangga Impian Part 1
Malam semakin larut, Amira belum juga menutup kelopak mata. Tatapannya begitu cemas, sesekali melihat ke arah jam dinding di tembok sebelah barat. Sudah pukul setengah satu dini hari, tapi suaminya belum juga pulang dan tak bisa dihubungi.
Amira tidak ingin berprasangka buruk, tetapi suaminya memang tidak bisa dihubungi. Setiap kali menelepon, operator seluler mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. Suami Amira sengaja mematikan gawainya, ada apa?
Perempuan berusia awal tiga puluhan itu melirik dua buah hatinya yang terlentang tidur. Suara dengkuran kecil yang menggemaskan, membuat Amira terpaksa menahan diri untuk tidak meluapkan emosi sembarangan.
Padahal, saat ini hati dalam rongga tubuh Amira terasa sangat sakit. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan mengganggu rumah tangga impian yang terus dilawannya dengan sekuat tenaga.
Sore tadi, tanpa sengaja ibu beranak dua itu melihat sang suami berhenti di depan sebuah swalayan, menjemput seorang wanita asing.
Suami yang dikenalnya tidak romantis bahkan membukakan pintu mobil untuk si wanita. Hati Amira sakit, ia sangat cemburu dan malu atas kelakuan suaminya sampai-sampai tak berani turun dari mobil.
Terburu-buru, Amira mengeluarkan gawai dari dalam tas di jok mobil sebelah sopir. Tanpa ragu, ditekannya perlahan nama sang suami di urutan nomor kontak teratas. Dari dalam mobil, Amira berharap suami tercintanya mengangkat telepon dan tidak sedang bersama wanita lain.
Amira berharap, plat nomor dari mobil yang sekarang berada tak jauh dari lokasinya, bukan mobil sang suami. Amira berharap salah mengenali seseorang sebagai suami tercintanya. Amira terus berharap.
Namun kenyataan kali ini memang tidak mendukungnya. Semesta segera menjawab melalui suara Gus Hanani, suami Amira, pemimpin rumah tangga impiannya, mengangkat telepon.
“Ya?” Suara Gus Hanani terdengar datar saja.
“Di … mana … Gus?” Suara Amira pelan, menahan getar, menyembunyikan pilu.
“Sedang ada urusan dengan teman kantor, Ning. Sebentar, ya, sedang sibuk-sibuknya.”
Klik.
Telepon ditutup tiba-tiba.
Seketika air mata Amira mengucur deras, tak tertahankan. Ia bahkan tidak mendengar ucapan salam dari sang suami, tak ada basa-basi.
Sementara dari kejauhan dengan jelas Amira melihat sang suami segera mengusap kepala wanita asing itu, tepat setelah menutup telepon. Ingin sekali ia berlari menghampiri Gus Hanani sekarang juga, tapi Amira menahan diri.
Apa yang akan ia katakan jika pergi ke sana sekarang?
Ia bahkan tak bisa mengucap sepatah kata pun.
Mengingat kejadian sore tadi, hati perempuan berjilbab merah muda itu terasa sesak, seakan sebuah tali gaib melilit kuat. Jantungnya berdegup lebih kencang hingga Amira merasa bisa mendengar degupannya sendiri.
Tak terelakkan, air mata menggenang di kedua netranya yang dinaungi bulu mata lentik. Bibir Amira bergetar menahan segala jenis pikiran buruk yang melintas tanpa izin.
“Amir! Hana!” Amira panik memanggil dua anak yang dititipkan kepadanya melalui pernikahan delapan tahun lalu. “Amir! Hana!”
“Umma!” Hana berlari dari balik gorden yang membatasi ruang tengah belakang dan ruang tengah depan. Bocah perempuan berusia lima tahun itu tersenyum lebar, memeluk kaki sang ibu.
“Di mana Kak Amir? Cepat kalian mandi, lalu ikut Umma bepergian!” Amira berkata tegas, diam-diam bibirnya bergetar kecil saat mengucapkan perintah itu.
“Ke mana, Ma?” Hana mendongak menatap Amira, menunjukkan dua bola mata bening yang penuh kebahagiaan.
“Bepergian,” Amira terdiam sejenak, ia bahkan tidak tahu ke mana akan membawa anak-anaknya, “ke rumah oma,” putus Amira tanpa pikir panjang.
“Yeee! Ke rumah omaa!” Hana berseru riang, memutar-mutar tubuh di hadapan Amira. Jilbab Hana terangkat akibat angin kecil dari hasil gerakan berputarnya.
“Sudah-sudah! Cepat cari Kak Amir, beritahu kabar seru ini, oke?”
“Oke, Umma!”
Hana menunjukkan dua jempol tangannya, menggemaskan. Gadis kecil itu tampak cerdas dan ceria, sama seperti kakak laki-lakinya, Amir. Dua bocah hasil buah cinta Amira dan Gus Hanani.
Netra Amira kembali tergenangi air mata melihat Hana berlari sambil sesekali melompat-lompat kecil. Keluarga kecilnya yang teramat sangat bahagia, mungkin sebentar lagi akan hancur lebur bak kapal diterjang ombak lautan. Pelayarannya dengan Gus Hanani akan segera berakhir tragis.
Tanpa menunggu lama, sebelum semakin banyak luka yang menyuguhkan emosi negatif, Amira bergegas menuju ruang penyimpanan. Dikeluarkannya satu koper besar dan satu koper kecil dari dalam almari besar berisi barang-barang yang jarang digunakan. Kasar, Amira menepuk-nepuk tubuh koper untuk menghilangkan sedikit debu.
Selesai membersihkan koper, perempuan kelahiran Jawa Timur itu menyeret dua koper keluar dari ruang penyimpanan. Langkah Amira tergesa menuju kamar, intensitas detak jantungnya meningkat, napasnya memburu.
Amira merasakan tubuhnya melayang setiap kali teringat bagaimana sang suami bersikap sangat lembut kepada perempuan tak dikenal tadi. Jalan pikir Amira tidak fokus, otaknya seolah melayang tak menentu. Hingga tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seseorang tepat sebelum masuk kAmir.
“Maaf, Ning! Maaf!”
Seorang perempuan berjilbab hitam menunduk-nunduk setelah barusan berseru “aduh” cukup keras. Wajahnya menatap lantai, takut-takut hendak mengangkat pandangan dan terus berucap maaf seperti robot.
“Nggak apa-apa, Mbak, saya yang sedang terburu-buru dan kurang waspada.” Amira menyahuti pelan, dirasakan pundaknya berdenyut akibat benturan yang tidak pelan.
“Nggih (iya), Ning, maafkan saya yang kurang awas saat berjalan.”
“Iya, Mbak.”
Amira menyahuti singkat, lalu kembali melangkah menuju kamar. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi dengan santri yang dipastikan sedang piket membersihkan ndalem (kediaman seorang kiai atau pengasuh pesantren), rumah Amira. Terpenting sekarang adalah segera membereskan baju-baju yang akan dibawa pergi.
Amira membuka pintu kAmir masih dengan gerakan kasar. Dua koper yang dibawanya menimbulkan curiga bagi santri yang bertabrakan dengan Amira tadi. Dahi santri itu mengerut heran, hendak ke mana ning-nya pergi membawa-bawa dua koper?
Cekatan, Amira memasukkan sembarangan baju-baju yang dianggapnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain bajunya sendiri, Amira juga memasukkan pakaian Amir dan Hana, menjadikannya dalam satu koper kecil.
Tak lupa, seluruh perhiasan dan beberapa aset tanah miliknya, ikut masuk ke dalam koper. Amira seolah sudah mempersiapkan kepergian ini dengan sungguh-sungguh.
“Umma!” Suara Amir terdengar melengking di dalam kAmir.
Spontan Amira menghentikan aktivitasnya memindahkan pakaian-pakaian dari dalam almari ke koper. Ia menoleh cepat ke arah sumber suara, netranya menangkan Amir berjalan mendekat. Sementara Hana sudah lebih dulu terjun memeluknya dari belakang.
Detik ini, Amira tidak tahu harus berbuat apa, pun bagaimana ia bisa menjelaskan perkara ini kepada buah hatinya. Mereka masih kecil, tak berdosa, mengapa harus menanggung perselisihan kedua orang tuanya?
Mengapa harus ada anak-anak yang akan menjadi korban di tengah rumah tangga impian?
Hati Amira terenyak begitu perih, dalam hati kecilnya ia memberontak untuk membenarkan perbuatan sang suami yang di luar nalar. Apa benar Gus Hanani begitu saja menduakannya diam-diam? Apakah rumah tangga impian nya akan hancur begitu saja?
Sumber Gambar :
0 Comments