Sosial Media: Medan Penyadaran Isu Kekerasan Seksual
Tuturmama – Perempuan dan sosial media merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan dalam diskurs wacana kekerasan seksual dalam hal ini kesetaraan gender. Hasil survei menunjukan bahwa pengguna sosial media sebagain besar adalah perempuan.
Berbicara mengenai peran perempuan di ranah publik seakan tak pernah ada ujungnya. Pasalnya Isu mengenai kebolehan perempuan tampil di hadapan publik seakan menjadi fenomena yang masih tabuh di kalangan sebagain orang.
Biarpun sejarah mencatat bahwa banyak tokoh-tokoh perjuangan bergender perempuan seperti Kartini, Keumalahayati, Cut Nyak Dien dan lain sebagainya. Nyatanya fakta tersebut tidak serta-merta membuat masyarakat luas memandang bahwa perempuan memiliki kompetensi yang sama dengan laki-laki.
Konstruk Budaya Patriarki
Konstruk budaya patriarkhi mengenai kodrat perempuan yang hanya sebatas pada ranah domestik. Menjadikan perempuan masyarakt memandangnya sebagai makhluk kelas dua yang perannya sekedar mendampingi lelaki. Parahnya lagi sebagian masyarakat masih memiliki pandangan bahwa perempuan adalah beban keluarga. Yakni yang bisa menimbulkan fitnah serta mendatangkan aib sehingga harus benar-benar terbatas ruang geraknya.
Padahal jika kita pahami secara seksama perempuan memegang tapuk penting sebagai mitra pembangunan bangsa. Perempuan sebagai madrasah pertama seorang generasi berperan sebagai sumber referensi utama bagi pengetahuan anak. Tentunya kualitas pola asuh dan pengetahuan yang ada pada diri perempuan akan menentuan kualitas para generasi penerus bangsa.
Moms, Ini 7 Cara Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak
Wacana mengenai pentingnya pola asuh juga menjadi isu yang banyak beredar akhir-akhir ini, terutama bagi ibu-ibu milenial. Di tengah-tengah pentingnya isu pareting bagi perempuan, ternyata ada yang luput dari pemerhatian masyarakat. Yakni isu tentang hak-hak perempuan yang masih timpang. Logikanya tuntutan mengenai kualitas asuhan ibu seharusnya juga imbang dengan pemenuhan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini masih dinilai bias gender.
Upaya Memperjuangkan Hak Perempuan
Isu mengenai hak-hak perempuan dan kekerasan seksual menjadi isu besar kedua setelah isu kemisikinan. Maraknya kasus-kasus pelecehan seksual terhadap gender perempuan terjadi tanpa mengenal sektor wilayah. Termasuk ranah keagamaan seperti pesantren, di mana pesantren merupakan instutusi yang suci dan tempat mencetak kader-kader ulama. Ini menjadi satu bukti bahwa tidak ada lagi ruang yang benar-benar bisa menjamin keamanan bagi perempuan.
Selanjutnya upaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan pun tak pernah absen untuk disuarakan melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui sosial media. Sosial media memainkan peran yang cukup vital dalam menggiring opini masyarakat untuk ikut mengkritisi dan peduli terhadap isu-isu keperempuanan.
Sebenarnya sosial media tidak hanya menjadikan perempuan candu terhadap hal-hal konsumtif berbau kecantikan dan trend gaya hidup saja. Melainkan juga bisa membuat perempuan lebih pandai dan kritis terhadap ketertindasan kaumnya yang tidak banyak disadari.
Kekerasan Seksual dalam Media Sosial
Media sosial sebagai ranah pertarungan wacana terbukti ampuh mempengaruhi publik dalam mengawal isu-isu keperempuanan. Kita masih ingat dengan sinetron Zara pada televisi Indosiar yang berhasil dipukul mundur melalui tagar instagram dan twitter serta mendapat kecaman dari Komisi Perlindungan Anak (KPI). Terkait dengan keterlibatan pemera utamanya Lea Chiarachel yang masih di bawah umur.
Kita juga masih ingat tentunya dengan kasus ceramah salah satu Ustadzah Kondang Oki Setiana Dewi yang mendapat kencaman dari berbagai pihak lantaran seolah menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setelah vidio ceramahnya viral di berbagai media sosial.
Belum lagi kasus Novita Widyasari, kasus pemerkosaan yang berujung menyedihkan dengan tindak bunuh diri. Juga kasus pemerkosaan tiga belas orang santri yang pelakunya oleh Herry Wirawan, ustadz abal-abal yang mencoreng nama baik institusi pesantren.
Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut berhasil mendapat respon secara tegas oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahkan juga berhasil menarik simpati publik berkat antusias warganet yang ikut mengawal kasus tersebut. Yakni melalui konten-konten edukasi maupun suara dukungan melalui tagar instagram dan twitter. Respon terhadap hak-hak perempuan juga mulai merambah melalui karya perfilman yang diadopsi dari kisah nyata perempuan.
Film Layangan Putus misalnya, film yang berkembang dari kisah nyata dalam facebook ini berhasil menciptakan persepsi publik. Bahwa perselingkuhan merupakan tindak kejahatan yang sangat melukai perempuan dan anak. ini merupakan sutu bukti bahwa media sosial merupakan wilayah yang tepat untuk membumikan isu-isu perempuan.
Kampanye Kesataraan Gender di Media Sosial
Media sosial seakan menjadi variabel yang sangat signifikan terhadap perkembangan kasus kekerasan terhadap perempuan. Saat ini upaya penyadaran terhadap kekerasan dan hak-hak perempuan yang masih kurang mendapat perhatian mendapatkan oase baru dalam ladang dakwahnya.
Dengan adanya kampanye kesetaraan melalui media sosial, perempuan di pelosok mana saja dapat menerima pengetahuan baru untuk mengedukasi dirinya sendiri secara cuma-cuma. Hal ini merupakan langkah baru yang cukup membantu untuk mengurangi rendahnya kesadaran perempuan tentang kesetaraan.
Media Sosial sebagai lahan perebutan wacana tentunya tak terlepas dari aktor-aktor di balik layar yang tak kenal mundur memberikan berbagai macam bentuk edukasi dan dukungan. Upaya penyadaran perihal keadilan gender tentunya harus berdasarkan pada tingkat kesadaran gender yang tinggi.
https://tuturma.ma/standar-kecantikan-indonesia-bentuk-rasisme-pada-perempuan/
Sebab tanpa kesadaran gender yang tinggi informasi-informasi yang disajikan berpotensi semakin memarjinalisasikan dan mengeksploitasi kaum perempuan. Lebih dari itu menjadikan pihak perempuan sebagai objek.
Freming-freming berita yang tidak mengutamakan suara perempuan juga masih banyak berlalu-lalang menghiasi media kita saat ini. Upaya peningkatan proporsisi jurnalis yang sadar gender menjadi PR besar yang harus siap dalam upaya mengubah persepsi masyarakat agar kesetaraan gender segera terwujud. Lalu bagaimana dengan masyarakat awam yang tidak pandai membuat wacana baru dalam media sosial?
Sebagai pihak yang kurang membidangi dalam analisis isu keperempuanan setidaknya kita memiliki kesadaran untuk ikut membagikan informasi terkait isu-isu kesetaraan yang ada di media sosial dan tidak bertindak acuh bilamana isu tersebut sedang digaungkan. Selain itu kita juga harus memfilter atau melakukan cek dan korcek sebelum akhirnya memfiralkan suatu berita.
Sumber Gambar: pexels.com