Tinggal di Desa atau Kota, Tetaplah Bahagia
Tuturmama – Tinggal di Desa atau Kota, Tetaplah Bahagia
Aku lahir di sebuah kota kecil. Masa kanak-kanak aku lalui di perumahan sederhana padat penduduk. Saat menjelang remaja, keluargaku pindah ke rumah baru yang dibangun ayah di tanah warisan kakek. Letaknya di tepi jalan raya, bukan perumahan atau kampung lagi.
Beberapa tahun lalu, aku telah menikah dengan seorang laki-laki—kakak angkatanku saat kuliah. Ia berasal dari desa di wilayah kabupaten yang sama dengan kotaku.
Sejak punya anak pertama, aku harus tinggal di rumah mertua di desa. Walaupun dalam satu wilayah dan hanya berbeda kota dan kabupaten, cukup banyak perbedaan antara keluargaku dan keluarga suami.
Profesi suami adalah sebagai guru sekolah swasta. Kami belum memiliki rumah sendiri. Jangankan membangun atau membeli rumah, untuk membayar indekos atau mengontrak rumah pun kami belum sanggup. Pilihan yang ada hanya dua, yaitu tinggal di rumah orang tua atau mertua.
Mungkin ini hanya sementara, tapi entah sampai kapan. Tentu saja aku dan suami berupaya memenuhi kebutuhan tanpa berhutang. Kami juga berusaha menabung dari penghasilan yang minim. Kami masih harus menerima dan tidak bisa memilih tinggal di desa atau kota.
Bersyukur, rumah orang tua dan mertua masih lapang untuk ditinggali. Aku dan suami sama-sama anak sulung dan cuma punya satu orang adik.
Alamat secara dokumen administratif keluarga kecil kami adalah rumah orang tuaku di kota. Tapi secara kenyataan setiap hari aku pulang ke rumah mertua di desa wilayah kabupaten. Ini bermula sejak aku melahirkan anak pertama.
Kuanggap ini pengorbananku sebagai seorang ibu. Dengan kesadaran, aku memilih jadi ibu rumah tangga yang bekerja freelance dari rumah via online. Kupilih cara itu demi mendampingi buah hati secara maksimal.
Aku ingin membersamai tumbuh kembang anak tanpa perlu meninggalkannya terlalu lama untuk bekerja di luar rumah. Sejauh ini suami menyetujui pilihanku.
Adaptasi Kehidupan Baru, Tinggal di Desa atau Kota?
Banyak adaptasi yang harus kulakukan sebagai ibu baru. Bukan sekadar menyesuaikan diri dengan hadirnya bayi, aku pun menyesuaikan banyak hal yang berbeda antara kehidupan di desa dan kota. Terutama latar belakang keluargaku dan suami, hingga tak bisa menghindari julukan ‘orang desa’ dan ‘orang kota’.
Ada perbedaan pola pikir di antara keduanya. Contohnya saja orang desa masih sangat mempercayai mitos seputar ibu menyusui atau hal mistis lainnya. Sedangkan orang kota sudah tidak terlalu percaya mitos.
Dari segi gaya hidup juga berlawanan. Contohnya adalah orang desa lebih suka minum air rebusan dari keran. Mereka tidak cocok minum air mineral dalam kemasan sehingga justru akan sakit batuk. Sedangkan aku sejak kecil terbiasa minum air mineral. Soal selera makanan juga sangat jauh berbeda.
Di bidang kesehatan, orang desa lebih sering berobat ke bidan karena memang yang terdekat. Padahal bidan sebenarnya tidak berkompeten seperti dokter untuk memberikan resep obat. Sedangkan orang tuaku membiasakan aku pergi ke dokter jika sakit, minimal dokter umum atau dokter spesialis jika perlu.
Dalam hal pendidikan, orang desa generasi muda mayoritas lulusan SMA. Sementara bagi yang berusia lanjut sebagian besar lulusan SD dan SMP.
Hanya sebagian kecil orang yang lulusan perguruan tinggi. Dalam hal pengetahuan, fasilitas, dan segala bidang lainnya juga banyak perbedaan. Aku tidak bermaksud membandingkan tapi begitulah kenyataan yang kualami.
Belajar dari Pengalaman
Aku berusaha menghargai orang desa karena ibuku sebenarnya berasal dari desa. Beliau lahir di desa kemudian merantau ke kota untuk sekolah sejak SMA sampai kuliah. Pola pikir beliau sangat maju dan modern.
Sedangkan ayahku lahir di kota tapi bercita-cita tinggal di desa. Beliau orang kota tapi suka bercocok tanam bahkan suatu saat beliau ingin punya rumah di desa yang asri.
Kebalikannya, tidak semua orang desa suka bertani—seperti mertuaku yang lebih gemar berdagang. Tidak semua orang kota senang hidup mewah, misalnya orang tuaku yang gaya hidupnya sangat sederhana.
Memang sifat-sifat orang desa dan kota tidak bisa disamaratakan. Semua itu hanya stereotip yang tercipta di antara masyarakat dan hanya label dalam interaksi sosial.
Oleh karena itu, aku pun tidak pernah mengatakan, “Dasar orang desa!”
Aku paham bahwa, baik orang kota maupun orang desa punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut pandanganku, orang desa itu pekerja keras tapi juga mau menerima apa adanya. Sedangkan orang kota lebih banyak tuntutan tapi cenderung cuek jika bukan urusannya.
Saat pernikahanku dulu, seseorang berkata padaku, “Enak Mbak, punya suami orang desa. Menerima apa adanya.”
Pandangan Orang Desa kepada Orang Kota
Memang benar, suamiku sangat bisa menerimaku apa adanya. Sebaliknya sebagai orang kota, aku pun harus membuktikan bahwa aku juga bisa menerima suamiku apa adanya. Itulah yang selalu berusaha kulakukan. Tentu dalam pernikahan, aku juga harus menerima seluruh keluarga pasangan apa pun keadaannya.
Ada juga tetangga yang juga saudara suamiku pernah berkomentar padaku, “Lebih enak tinggal di desa sini kan, daripada di kota. Banyak polusi di jalan raya. Orang kota juga nggak kenal sama tetangga, apalagi di perumahan.”
Aku agak kecewa dengan kata-katanya. Ternyata seperti itu pandangan orang desa terhadap orang kota. Tapi aku hanya diam tanpa menjawab apa-apa. Aku menganggap dia kurang pengalaman dan pengetahuan sebab sejak kecil hingga dewasa hanya tinggal di desanya saja.
Tapi aku juga belajar dari pengalaman ini bahwa akulah yang harus sabar dan mengalah. Aku lebih memahami karena berasal dari kota dan kini tinggal di desa.
Di kota, mayoritas warganya pendatang dan perantauan, bukan orang asli daerah itu. Banyak yang harus pindah rumah akibat pekerjaan atau alasan lain. Apalagi jika hanya mengontrak sebentar. Belum lama saling mengenal tapi tetangga sudah berganti orang.
Sedangkan orang-orang desa lahir hingga tua bahkan seumur hidupnya menetap di rumah yang sama. Saudara dan kerabat saling tinggal berdekatan. Apalagi jika menikah dengan sesama warga satu desa. Tentu saja mereka beranak-pinak dan saling mengenal dalam waktu berpuluh tahun lamanya.
Perbedaan Desa dan Kota
Begitulah keadaan desa dan kota, memang cukup banyak dan sekali lagi, tidak bisa disamaratakan. Orang desa juga ada yang berpikiran maju seperti kakekku—dahulu berprofesi kepala desa—dari pihak ibu.
Setelah tinggal di kota, ibu pun sangat akrab dengan tetangga. Walaupun tetangga di kota tidaklah sebanyak di desa namun tetap harus berbuat baik.
Orang kota seperti ayahku juga tidaklah sempurna. Kadang aku pun kurang setuju dengan sikap individualisnya. Sejauh pengalamanku, berikut ini perbedaan kondisi di desa dan kota:
Desa masih kental budaya, adat, dan tradisi, sedangkan di kota mulai pudar karena modernisasi.
Di desa, ikatan persaudaraan masih kuat. Tentu karena mereka masih punya lahan untuk membangun rumah secara berdekatan. Apalagi memang tidak pernah merantau keluar desanya.
Sedangkan di kota, persaudaraan lebih renggang karena mau tidak mau, antar saudara berpisah tempat tinggal karena mempunyai rumah di daerah lain.
Desa memiliki udara yang masih sejuk karena banyak persawahan, perkebunan, dan pepohonan. Sedangkan di kota, udaranya panas karena banyak kendaraan dan kurangnya tumbuh-tumbuhan.
Desa jauh dari fasilitas umum seperti rumah sakit, minimarket, bank, dan pasar. Bahkan untuk pergi ke fasilitas umum biasanya perlu mengendarai kendaraan pribadi dengan jarak tempuh beberapa menit hingga satu jam ke pusat kota.
Sementara di kota, sangat dekat dengan berbagai fasilitas umum. Warga bisa menghemat waktu perjalanan, cukup jalan kaki, ataupun banyak pilihan transportasi umum yang bisa menjadi tumpangan.
Selain itu, di desa biaya hidup lebih murah dan harga barang terjangkau. Sedangkan di kota, biaya hidup dan harga barang kebutuhan lebih mahal.
Kesimpulannya, tetap ada kelebihan dan kekurangan tinggal di kota dan desa. Aku tidak tahu kelak akan punya rumah di mana. Entah nanti tinggal di kota atau desa, yang penting menjadi orang bermanfaat dan tetap bahagia.
Sumber Gambar: freepik.com
0 Comments