Usia Makin Menua tetapi Jodoh Tak Kunjung Datang
Tuturmama – Usia makin menua tetapi jodoh tak kunjung datang, kalimat tersebut tentu menjadi sebuah beban. Beban untukku dan juga orang tua.
“Bagaimana ya caranya saya kasih tahu anak saya biar bisa membuka diri? Usianya sudah mau 35 tahun tetapi belum juga mempunyai pasangan,” ucap salah satu seniorku di kantor.
Seniorku sedang menceritakan Mamanya yang terus mengkhawatirkan dirinya karena belum menikah.
“Fit, gue bingung gimana caranya biar Mama ngerti kalau gue juga maunya cepat-cepat nikah. Tapi kan, emang gak segampang itu milih pasangan hidup. Makin malas aja buat ketemu Mama,” lanjut seniorku dengan wajah menahan emosi.
“Tante ini khawatir saja Dinda jadi perawan tua,” ucap ibu Dinda, seniorku.
Begitulah beberapa percakapan dengan tema pernikahan. Aku sendiri pernah memiliki pengalaman kurang lebih sama dengan yang Dinda alami.
Aku menikah di usia yang sudah mendekati kepala empat, 38 tahun. Usia di mana aku mengakhiri masa lajang setelah berjuang keras mendapatkan keyakinan untuk merajut ikrar suci bersama teman hidup.
Dan di usia 39 tahun aku sudah menjadi seorang ibu. Terlambatkah aku menikah? Telatkah aku memiliki anak?
Tidak! Bagiku tidak ada kata terlambat untuk sebuah kebahagiaan.
Berapa tahun silam apa yang seniorku keluhkan di kantor, menjadi kalimat yang juga ibuku keluhkan pada teman atau saudaranya.
Kalimat tentang perawan tua sudah sering aku dengar.
Ah, masa-masa itu menjadi masa yang cukup sulit untuk aku mengambil sikap. Mendiamkannya bukan sebuah solusi. Menjawabnya pun hanya akan menimbulkan masalah baru.
Serba salah. Mau dilawan, yang bicara orang tua, orang yang sudah melahirkanku.
Yang bisa aku lakukan pada saat itu hanyalah menghindari mereka. Bukan menjauh atau memutuskan komunikasi, tetapi membatasi. Seperlunya saja.
Usia Bertambah Beban pun Bertambah
Apa yang mereka ucapkan memang benar sebagai bentuk perhatian, tetapi mungkin mereka lupa bahwa yang sedang mereka hadapi adalah seorang perempuan dewasa yang pada dasarnya juga ingin mengakhiri kesendiriannya.
Bentuk perhatian mereka terkadang menjadi beban tersendiri. Beban pikiran yang terus memikirkan kemana jodohku, mengapa tak kunjung datang.
Bahkan yang lebih menambah beban adalah saat ada salah satu anggota keluarga yang menyarankan untuk datang ke orang pintar.
Aku disuruh mandi kembang. Sebegitu parahnyakah aku sampai harus mandi air kembang seperti itu?
Tidak, aku tidak akan pernah mau. Untuk yang satu ini aku tak bisa mendiamkan. Aku langsung menentangnya.
Berdebat dengan saudara kulakoni. Semua demi prinsipku sebagai seorang muslimah.
Ah, mengingat masa-masa itu menjadikan saya seperti seorang yang kuat namun hampa. Bagaimana tidak?
Kekuatan seorang anak ada pada keluarga dan orang tua nya. Sedangkan keduanya justru menjadi sumber yang membuatku sakit.
Akal sehat bicara, “Ibu kamu itu hanya ingin cepat kamu nikah, mengingatkan saja.”
Tetapi suara hatiku berbisik,”Tidak dengan cara seperti itu mengingatkan, yang ada hanya membuat sakit.”
Usiaku memang menua, tetapi tidak dengan akal sehatku.
Dari pengalaman itulah aku bisa menempatkan diri ketika ada yang bercerita tentang orang-orang yang belum juga menikah. Saya selalu bilang kepada Mama-Mama yang memiliki anak perempuan tetapi belum juga menikah, bahwa ada banyak cara untuk mengingatkan si anak.
Dengan menggunakan bahasa yang tidak menyinggung atau sambil bersenda gurau. Itu justru akan membuat anak tersentuh.
Di usia yang semakin menua dan jodoh tak kunjung datang, kami butuh dukungan
Ingat ya, Mama-Mama! Anak Mama itu sudah dewasa. Dia bukan lagi anak kecil yang harus didikte.
Biarkan dia dengan pilihannya, beri semangat agar dia lebih kuat dengan statusnya yang masih jomblo di usianya yang semakin menua.
Daripada menyuruh, “Cepat nikah!” Atau menanyakan, “Kapan nikah?”
Lebih baik Mama meningkatkan ibadah, berdoa yang banyak agar anak segera menemukan jodohnya. Kalau hanya curhat sana, curhat sini, atau malah mendatangi orang pintar tak akan bisa menyelesaikan masalah, yang ada malah menciptakan masalah baru.
Aku jadi ingin tertawa, mengingat tindakan yang dulu kuambil.
Aku mengambil S2 dengan tujuan menjadikan alasan agar ada jawaban saat seseorang bertanya, ”Kapan nikah?”
Dengan lantang aku menjawabnya, “Masih kuliah.” Gampang kan? Masuk akal kan jawabannya?”
Di usia yang semakin menua dan jodoh tak kunjung datang, waktunya meningkatkan kualitas diri
Dan memang setelah kupikir-pikir, masa lajang adalah masa di mana kita harus meningkatkan kualitas diri agar mendapatkan pasangan yang jauh lebih berkualitas. Telat nikah bolehlah tetapi jangan sampai kita telat meningkatkan kualitas diri.
Dengan begitu kita pun akan makin percaya diri menghadapi realitas kehidupan.
Aku kembali tertawa, mengingat masa-masa itu betapa pasrah sudah menjadi kekuatanku dalam mendapatkan pasangan hidup. Pasrah kalau harus mendapatkan pasangan yang tidak lajang lagi alias duda, mengingat usia jelang kepala empat, aku harus tahu diri.
Namun, pasrah bagiku bukan tanpa seleksi. Aku tetap memiliki kriteria siapa yang harus dan layak kupilih.
Usia boleh dibilang sangat dewasa, namun jangan sampai salah pilih. Menikah bukan hanya sehari dua hari, setahun dua tahun, tetapi selamanya.
Dengan tidak salah pilih sudah menjadi satu kepercayaan diri untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Untungnya, Allah mendengar doa-doaku.
Di saat pasrah dan ikhlas menerima ketentuan Allah, saat itulah Allah menghadirkan laki-laki yang sekarang menjadi pasangan hidupku. Di usianya yang ke-40, laki-laki itu didatangakan untukku.
Lajang dan cukup bertanggung jawab. Doa-doaku dikabulkan Allah.
Sabar, pasrah, terus berdoa dan yakin bahwa Allah sedang menyiapkan pasangan terbaik untukku menjadi hal yang selalu aku sampaikan pada teman-teman yang bernasib sama denganku. Saat usia makin menua tetapi jodoh tak kunjung datang.
Sumber Gambar: pexelsphoto.com
0 Comments